TAK ada pesta dalam pernikahannya. Tak pula ada orang tua, keluarga, atau kerabat yang menyaksikan momen sakral itu. Hanya ada mereka berdua: Vancy Bailley dan pasangannya.
Wanita 26 tahun yang tinggal di Belanda itu melangsungkan pernikahan dengan orang Prancis. Uniknya, mereka tak pernah bertemu secara fisik. Tapi keduanya setiap hari bertemu melalui karakter tiga dimensi dalam Second Life. Ikatan batin pun terjalin.
Second Life adalah permainan virtual yang menyambungkan setiap orang di penjuru dunia. Ini game tiga dimensi ciptaan Linden Research California pada 2003. Di bawah pimpinan Philip Rosedale, Linden Lab berusaha menciptakan dunia metaversa—tempat manusia mewakilkan karakternya di dunia kedua.
Karakter tiga dimensi itu bisa bermacam-macam. Tergantung pilihan selera. Mereka bisa berinteraksi, bermain, berbisnis, olahraga, jatuh cinta, selingkuh, atau menikah seperti yang dilakukan Bailley. Linden menciptakan sejumlah aturan, termasuk larangan berjudi yang mulai berlaku dua pekan lalu.
Bailley, misalnya, adalah gadis kelahiran Jakarta. Wanita keturunan Maluku, Cina, dan Belanda ini masih melajang dalam kehidupan aslinya. Berkelana di Second Life sejak enam bulan lalu, Bailley telah pula membeli rumah megah seluas 8.192 meter persegi di dunia kedua. Dia punya hobi berganti-ganti rambut dan baju. ”Duit saya keluar banyak di permainan ini,” kata Bailley dalam percakapan melalui Internet dengan Tempo.
Permainan ini mirip dengan game SimCity yang pernah meledak pada sekitar 1995. Tapi dunia Second Life terasa lebih nyata ketimbang SimCity. Pengunjung berinteraksi dengan orang lain melalui Internet. Mereka juga bisa berhubungan melalui tulisan, suara, atau video.
Second Life sebenarnya masih diragukan masuk kategori game. Pasalnya, permainan ini tak mempunyai misi, perolehan nilai, atau menang dan kalah. Penghuni dunia itu juga bisa terus bertahan tanpa cedera atau mati. Jadi kelangsungan Second Life itu paralel dengan dunia nyata.
Pada awal kemunculannya, Second Life tak terlalu menjadi bahan sorotan. Hingga Juli 2006, jumlah pendaftarnya hanya 1,5 juta orang. Penduduk kehidupan kedua mulai membengkak menjelang akhir 2006. Kini jumlah pendaftar mencapai 8,8 juta orang. Dalam 60 hari terakhir ada 1,6 juta orang yang masuk ke kehidupan kedua. Kebanyakan dari mereka ada di dunia itu lebih dari 18 jam seminggu.
Jumlah pendaftar membuat banyak perusahaan besar turut ”bermain”. Ada sekitar 45 korporasi multinasional membeli kaveling di Second Life. Misalnya Reebok, Adidas, IBM, General Motors, hingga Coca-Cola. Bahkan kedutaan Swedia membuka perwakilannya di dunia kedua ini. Ada juga beberapa media seperti Reuters, BBC, atau The New York Times. Bank serta anjungan tunai mandiri tersebar di beberapa wilayah kehidupan kedua.
Perusahaan-perusahaan sungguhan di atas menjadi anggota premium dan membeli tanah di dunia maya. Di sana perusahaan bisa melakukan rapat dengan cabangnya di belahan dunia lain. Jadi bisa memangkas biaya perjalanan. Kehadiran mereka juga merupakan ajang promosi. ”Yang unik dari Second Life adalah sifatnya yang melibatkan orang. Ini peluang besar,” kata ketua tim konvergensi digital IBM, Michael Rowe.
Nah, kehadiran perusahaan besar ini rupanya membuat gerah penduduk biasa di dunia kedua. Markas Reebok, misalnya, mendapat serangan nuklir bulan lalu. Beberapa perusahaan lain juga mendapat serangan serupa. Ada juga yang mendapat serangan berupa paket berupa ribuan babi. Pelakunya menamakan diri Second Life Liberation Army, yang terbentuk pada April 2006. Tentu saja serangan itu hanya efek visual. Terjadi kerusakan sesaat tapi markas Reebok masih tetap berdiri. Tatkala Tempo berkunjung ke dunia kedua, bekas ledakan nuklir di markas itu sudah tak terlihat.
Kunjungan virtual ke belahan bumi maya itu bisa dengan cara gratis atau bayar. Penduduk kelas premium membayar biaya abonemen US$ 9,95 (sekitar Rp 95 ribu). Biaya ini akan bertambah untuk sewa tanah per bulan atau membeli bahan material rumah. Pada saat pendaftaran, pengunjung mendapat jatah tanah virtual 512 meter persegi.
Pendaftar berbayar akan mendapat uang 1.000 dolar Linden, mata uang resmi Second Life. Hingga pekan lalu, satu dolar Amerika sama dengan 265 dolar Linden. Dalam sehari penduduk di dunia maya bisa menghabiskan sejuta dolar Linden untuk membeli pakaian, rumah, dan perangkat lain.
Di dunia kedua, penduduk bisa memperjual-belikan rumahnya. Bisa juga menjadikan rumah itu sebagai tempat bisnis. Semua uang bisa dinikmati di dunia nyata dengan menukarkannya di World Stock Exchange atau bank yang ada di Second Life. Setiap pengunjung mempunyai akun yang bisa menyertakan nomor rekening atau kartu kredit.
Perusahaan Anshe Chung Studio menjadi raja real estate virtual. Perusahaan ini mengantarkan Ailin Graef menjadi jutawan—sungguhan. Anshe Chung adalah nama Graef di Second Life. Dia menjual rumah dengan kisaran harga 2.000 dolar Linden per unit. Aset perusahaan itu kini sudah lebih dari US$ 1 juta.
Bagi yang mendaftar gratis masih terbuka peluang mencari uang. Banyak tempat yang menawarkan dolar Linden gratis. Lokasi yang paling populer adalah HippiePay. Di sini pengunjung cukup mengisi angket yang terhubung ke Internet browser. Cara lain: berjoget di tempat yang telah disediakan. Ajojing selama 6 menit akan mendapat uang 2 dolar Linden. ”Second Life memang enak buat nyari uang,” kata Lovetemmy Offcourse, nama di dunia maya tanpa menyebut nama aslinya, kepada Tempo ketika di HippiePay.
Bagi yang ingin lebih serius mencari uang, pendaftar gratis bisa bekerja sambilan di perusahaan. Misalnya media Secondlifeherald yang mengundang setiap pengunjung menulis artikel dengan imbalan. Kalau bingung, tinggal cari saja penyedia jasa informasi lowongan kerja berbagai bidang di dunia kedua. Kemampuan yang paling dicari adalah bidang skrip desain. Perusahaan pakaian tak membutuhkan kemampuan menjahit, namun mencari pegawai yang bisa menulis skrip desain pakaian.
Second Life juga menyediakan tempat yang menarik buat sekadar jalan-jalan. Melihat kemegahan Stadion Arena milik Ajax Amsterdam. Nonton konser Liverpool Orchestra. Menjadi ranger bersama organisasi lingkungan seperti WWF, yang baru membuat bironya pekan lalu. Atau mencari gebetan di dunia virtual.
Penduduk di dunia ini tidak perlu kendaraan. Mereka mempunyai kemampuan terbang dan pindah tempat dalam sekejap atau teleport. ”Kita bisa bekerja, bermain, atau jatuh cinta,” kata juru bicara Second Life Liberation Army, Solidad Sugarbeet, kepada CNET. ”Hanya ada satu yang hilang. Kami tidak memiliki hak memilih.”
Permainan ini kurang bersahabat bagi penggemar di Indonesia. Second Life membutuhkan koneksi Internet dan spesifikasi komputer yang mumpuni. Agus Syaban, karyawan perusahaan teknologi informasi di Bandung, misalnya, sering kecewa ketika memainkan Second Life. Agus, yang menggunakan nama Aban Bonetto, berkelana di dunia kedua melalui komputer berbasis Windows, sedangkan akses Internetnya DSL. Tetap saja gambarnya patah-patah. ”Padahal permainan ini amat menarik. Bisa menghasilkan uang sungguhan tanpa mengeluarkan sepeser pun,” ucapnya.
Bagaimana hidup di dunia kedua?
* Daftar di situs www.secondlife.com. Bisa gratis atau premium. Isi formulir yang tersedia.
* Aktifkan nama melalui surat elektronik. * Mengunduh program yang tersedia di situs. 33 megabita untuk Windows 2000/XP. 75 megabita untuk Mac OS X. 50 megabita untuk Linux i686 * Instal program di komputer * Masukkan identitas * Mulai menjelajahi dunia kedua
Spesifikasi minimal
PC
Koneksi Internet: Kabel atau DSL. Second Life tak bisa berfungsi dengan menggunakan koneksi dial-up, satelit, atau layanan Internet nirkabel. Sistem operasi: Windows XP (Service Pack 2) atau Windows 2000 (Service Pack 4). Second Life tak bisa di Windows Vista. Prosesor: 800 MHz Pentium III atau Athlon Memori: 256 MB Kartu Video/Grafik:nVidia GeForce 2, GeForce 4mx, atau ATI Radeon 8500, 9250.
Mac
Sumber : www.tempointeraktif.com Koneksi Internet: Kabel atau DSL Sistem operasi: Mac OS X 10.3.9 Prosesor: 1 GHz G4 Memori: 512 MB Kartu Video/Grafik:nVidia GeForce 2, GeForce 4mx, atau ATI Radeon 8500, 9250. |
Yang Sering Berkunjung
Cari Blog Ini
Entri Populer
-
DATA CENTER Definisi Data Center ΓΌ . . . komponen penting dari infrastruktur yang mendukung Internet dan perdagangan digital Juga sek...
-
Oleh : TJUK SUDARSONO Instruktur Transportasi Udara & Praktisi Penerbangan Memahami pentingnya Emergency Operation Center (EOC) atau Pus...
-
RAMUAN VIRAL "Rahasia Dibalik Konten Viral" Saya akan beritahu Anda sebuah "rahasia"... Rahasia bagaiman...
-
TAK ada pesta dalam pernikahannya. Tak pula ada orang tua, keluarga, atau kerabat yang menyaksikan momen sakral itu. Hanya ada mereka ber...
-
ElasticSearch merupakan search engine full-text yang bisa diakses melalui RESTful API. Search engine ini berorientasi dokumen (hampir sep...
-
Identifikasi dan analisa Hazard , serta penilaian dari resiko yang akan ditimbulkan oleh Hazard tersebut, merupakan suatu metoda efektif d...
-
Diamabil dari bukunya Prof Rhenald Kasali yang judul nya DISRUPTION ada yang menarik untuk di ketahui disebutkan bahwa Akibat serangan d...
-
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN dari sisi BANDAR UDARA Ditulis oleh DR.H.K.Martono SH LLM Senin, 19 Januari 2009 15:...
-
Sebelum nya kita kenalan dulu apa itu elasticsearch, elasticsearch adalah search engine full-text yang bisa diakses melalui RESTful API. E...
-
Soal soal psikotes ini saya dapat dari beberapa situs gratis, jadi yang mau download silahkan saja. Soal psikotes ini saya publish setetalah...
Rabu, 16 Desember 2009
Second Life
Sabtu, 05 September 2009
Emergency Locator Beacon Aircraft

Perangkat sejenis ELBA yang dipasang di kapal dinamakan Emergency Position Indicating Reporting Beacon (EPIRB). Selain itu, ada pula alat sejenis untuk perorangan, yakni Personal Locator Beacon (PLB). Berbeda dengan ELBA dan EPIRB, PLB hanya bisa diaktifkan secara manual.
Metode ELBA telah diterapkan lebih dari tiga dekade dan diyakini keandalannya oleh negara-negara maju di dunia.
Daftar isi:
1. Asal mula
2. Satelit Pendukung ELT
3. Pemanfaatan Lain
4. Referensi
1. Asal mula
Dalam catatannya di pilot web (18/9/2003), Michael Atkinson menuturkan bahwa dorongan bagi pembuatan sistem pemberitahuan darurat ini muncul tahun 1970 ketika pesawat yang ditumpangi dua anggota Kongres AS hilang di Alaska. Meskipun telah dilakukan upaya pencarian besar-besaran, tak ada jejak pesawat maupun penumpangnya yang ditemukan. Sebagai buntutnya, Kongres pun lalu menuntut bahwa semua pesawat di AS membawa ELT. Alat ini dirancang untuk bisa aktif begitu terjadi crash dan memancarkan sinyal yang memberitahukan posisi diri (homing).
Frekuensi yang dipilih untuk operasi ELT adalah 121,5 megahertz (MHz) untuk darurat penerbangan sipil, dan 243 MHz untuk penerbangan militer, yang masuk sebagai frekuensi UHF darurat penerbangan.
Namun, sistem yang dimaksudkan murni untuk pewartaan keadaan darurat ini memperlihatkan keterbatasan: frekuensi sipil sesak dan dirancang pertama-tama untuk transmisi suara. Lalu, karena suar berdaya rendah, sinyalnya pun acap terlindas transmisi suara yang berdaya tinggi. Lebih jauh lagi, saat itu belum ada cara untuk mengenali dari arah mana datangnya sinyal tersebut (selain melalui cara homing) dan—yang lebih penting lagi—ada stasiun yang cukup dekat dan siap mendengarkan sinyal tersebut.
Keterbatasan ini berlangsung selama beberapa tahun, membuat manfaatnya kurang bisa dirasakan. Dari sini muncul ide untuk memanfaatkan sistem berbasis satelit. Akhirnya frekuensi suar darurat pun dialokasikan untuk sistem ini, yakni 406 MHz. Sistem bercakupan global ini mampu secara unik mengenali setiap suar. Pada generasi berikut, Inmarsat atau International Maritime Satellite mengoperasikan suar berfrekuensi 1,6 GHz.
Sistem pencarian korban di daerah terpencil berbasis satelit untuk wilayah AS, Kanada, dan Perancis dikenal dengan nama SARSAT atau Search and Rescue Satellite-Aided Tracking, sementara Uni Soviet (saat itu) mengembangkan COSPAS atau Sistem Angkasa untuk Pencarian Kapal yang Mengalami Keadaan Darurat. Kedua sistem itu kemudian digabung tahun 1979.
Sistem SARSAT-COSPAS terdiri dari tiga elemen: elemen angkasa berupa satelit, elemen darat yang dinamai Local User Terminal (LUT) dan Mission Control Centre (MCC), dan elemen bergerak yang tidak lain adalah alat suar (beacon), yang antara lain dipasang pada pesawat. Dalam uji coba, sistem ini bisa mengarahkan regu penyelamat hingga ke jarak 22,5 kilometer dari tempat kecelakaan.
Setelah dioperasikan tahun 1985, anggota SARSAT-COSPAS pun bertambah dari empat menjadi lebih dari 30, dan sistem mengoperasikan lebih dari 50 stasiun Bumi dan 20 MCC di seluruh dunia.
2. Satelit Pendukung ELT
Dalam operasinya, sistem penentu lokasi darurat didukung dua rumpun satelit. Yang pertama adalah satelit-satelit Geosar (Geostationary SAR) dan yang kedua adalah satelit-satelit Leosar (Low-Earth Orbit Search-and-Rescue).
Komponen Leosar didukung dua satelit COSPAS yang mengorbit kutub pada ketinggian 1.000 kilometer, dan dua satelit meteorologi AS, NOAA, yang mengorbit pada ketinggian 850 kilometer. Setiap satelit dilengkapi dengan instrumentasi SAR, dan mengorbit Bumi dari kutub ke kutub satu kali setiap 100 menit. Setiap satelit melayang dengan kecepatan tujuh kilometer per detik, menyisir satu strip permukaan Bumi dengan lebar 6.000 kilometer.
Sistem Geosar didukung tiga satelit geostasioner (seperti halnya orbit Palapa, 35.000 kilometer), dua dari AS dan satu dari India.
Dengan adanya dua sistem di atas, sistem buminya pun dibuat untuk mendukung operasi Leosar dan Geosar.
Dalam kaitan ini, operasi SARSAT-COSPAS terus dimutakhirkan. Misalnya saja dengan memensiunkan satelit yang melayani suar yang beroperasi pada jangkauan frekuensi 121,5 dan 243 MHz, dan mulai mendorong penggunaan suar berfrekuensi 406 MHz. Satelit untuk mendukung frekuensi ini akan mulai beroperasi penuh tahun 2009.
3. Pemanfaatan Lain
Pada kenyataannya, sistem SARSAT-COSPAS telah dimanfaatkan tidak saja untuk menetapkan lokasi jatuhnya pesawat di pegunungan, tetapi juga untuk memberikan pertolongan kepada kapal yang rusak di tengah laut, atau bahkan individu yang luka-luka tatkala mendaki gunung.
Adanya pertolongan cepat ini amat penting mengingat dalam kejadian darurat setiap menit demikian berharga. Namun, sementara kecepatan amat vital, sering kali lokasi yang harus dituju amat sulit. Belum lagi jika kecelakaan terjadi di tengah musim hujan seperti sekarang ini di banyak wilayah Indonesia.
Selasa, 18 Agustus 2009
CNS/ATM Communication Navigation Surveillance / Air Traffic Management System
CNS/ATM |
Ditulis oleh Fadjar A. Nugroho |
Jumat, 27 Juni 2008 17:56 |
Komunikasi dengan ATC menggunakan ACARS Dengan CNS/ATM ini, komunikasi dan pengawasan dapat dilakukan melalui satelit sehingga cakupannya lebih luas. Contohnya negara Indonesia yang terdiri dari laut dan daerah terpencil yang tidak terjangkau radar biasa, akan dapat diatur dengan mudah menggunakan CNS/ATM ini. Komponen CNS/ATM adalah:
Penjelasan di bawah ini mungkin membutuhkan pengetahuan tentang Radio Telephony. Pembaca selain penerbang dan ATC mungkin harus merujuk pada tulisan mengenai radio telephony baik di internet maupun di website ilmuterbang,com. A. AFN ATS Facilities Notification ini adalah metode untuk memberi tahu ATC bahwa pesawat memiliki kemampuan berkomunikasi dengan datalink. Notifikasi ini dimulai oleh awak pesawat. B. CPDLC Notifikasi ke VABF, ATC di Mumbai, India Normalnya komunikasi antara awak pesawat dengan ATC (Air Traffic Controller) dilakukan dengan menggunakan radio pemancar VHF (Very High Frequency) maupun HF (High Frequency). Dalam komunikasi ini kedua pihak harus saling mendengarkan di saat yang bersamaan. Sedangkan dengan CPDLC , penerbang dan ATC berkomunikasi dengan media teks, seperti teleks atau chat di Internet. Hubungan pesawat dengan ATC menggunakan komunikasi data ACARS (untuk penjelasan tentang ACARS, silahkan lihat artikel terkait di site ini) dengan ACARS ini komunikasi dengan ATC dapat dilakukan dengan digital dan mempunyai keuntungan untuk berkomunikasi tanpa harus berada di waktu yang bersamaan karena semua pesan terekam di perangkat penerima dan tidak hilang sebelum mendapat umpan balik dari penerima pesan. Cara ini hampir mirip dengan penggunaan SMS pada telepon selular. Hal ini juga sangat membantu terutama di daerah di luar jangkauan radio biasa. Jika pesawat keluar dari jangkauan radio VHF yang bisa memancar sekitar 200 nm atau 360 km, maka dengan otomatis, perangkat ACARS akan berkomunikasi melalui satelit, SATCOM atau pada gelombang HF yang mempunyai jangkauan lebih jauh dari gelombang VHF. Dengan CPDLC, ATC dapat memberikan semua perintah dan ijin (clearance) yang biasanya dilakukan dengan komunikasi suara, dan awak pesawat dapat menjawab dengan memilih jawaban yang sudah ditentukan (contohnya, Roger, Standby atau Wilco).
Dalam keadaan darurat pun ada pilihan untuk mengirim pesan darurat dan mendapatkan prioritas. Komponen CPDLC Keyboard FMS adalah alat input CPDLC
Bekerja dengan CPDLC Secara umum cara kerja CPDLC dapat dimulai dari darat, dengan mendapatkan ijin keberangkatan, departure clearance. Jika biasanya clearance diberikan oleh Clearance Delivery di frekuensi tertentu, maka sekarang awak pesawat akan meminta clearance lewat CPDLC dan kemudian jawaban juga didapat di tampilan CPDLC. Biasanya setelah mendapatkan clearance, maka komunikasi radio biasa digunakan untuk menghubungi Ground/ Apron Control untuk meminta ijin start engine. Komunikasi selanjutnya juga berlangsung seperti biasa dari frekuensi Tower ke frekuensi Departure Control lalu ke Area Control Center. Nah, CPDLC kemudian akan kembali dipakai pada saat pesawat berada di luar jangkauan radio Area Controller. Di sinilah komunikasi ala teleks atau mesin Fax dimulai. Uplink Uplink adalah komunikasi dari ATC ke awak pesawat. Isi pesannya bisa berupa:
Downlink Downlink adalah kebalikannya, dimana awak pesawat mengirim pesan berupa:
Di bawah ini beberapa tampilan CPDLC, selama awak pesawat berkomunikasi dengan ATC. Gambar-gambar di bawah diambil dari beberapa penerbangan jadi tidak mempunyai urutan yang konsisten. Mumbai meminta position report ke penerbang Informasi traffic dari ATC Mumbai
Clearance baru dari ATC Mumbai
C. ADS Automatic Dependent Surveillance Di buku Jeppesen yang juga mengambil dari ICAO Doc 4444, ADS digambarkan sebagai: A surveillance technique in which aircraft automatically provide, via a data link, data derived from on-board navigation and position-fixing systems, including aircraft identification, four-dimensional position and additional data as appropriate. Jadi intinya, dengan memanfaatkan teknologi ACARS, perangkat ADS di pesawat mempunyai kemampuan untuk mengirimkan data posisi dan data lain secara otomatis kepada ATC. Pada perangkat yang terpasang di Airbus A330, sampai dengan 5 ATC atau AOC center, dapat berhubungan dengan ADS di pesawat. Untuk bisa berhubungan dan mengirimkan data secara otomatis, pilihan ADS harus diubah dari OFF menjadi ARMED. Dalam keadaan ARMED, maka jika ada ATC yang mencoba menghubungi, perangkat ADS akan memberi status CONNECTED. Data yang umum dikirimkan ke ATC secara otomatis ini antara lain: Data block 1
Data block 2, data ini berupa data cuaca yang rasakan oleh sensor-sensor di pesawat.
Informasi lain dapat ditambahkan oleh penerbang dengan memasukkan data secara manual dan mengirimkannya pada ATC. Kelebihan dari sistem ADS ini adalah, tidak diperlukannya radar surveillance yang biasa dipakai secara konvensional. Tapi keakuratan data yang didapat oleh ATC akan sangat bergantung pada keakuratan sistem navigasi pesawat. Karena posisi pesawat di tampilan ATC digambar berdasarkan laporan otomatis dari ADS. Jadi dengan menggabungkan ADS dengan radar surveillance yang konvensional akan menambah keakuratan data posisi pesawat. Dari semua sistem yang ada, surveillance radar ataupun ADS, sebuah pesawat memberikan posisinya pada ATC. Generasi baru ADS yang disebut ADS-B (ADS-Broadcast) memberikan posisi pesawat pada ATC dan juga pesawat di sekitarnya. Jadi antar pesawat juga memiliki informasi posisi pesawat di sekitarnya. |
Kamis, 13 Agustus 2009
Ternyata Atlantis Adanya dari Indonesia

Professor Arysio Santos believed he had found Atlantis
I first came upon the name of Professor Arysio Nunes dos Santos, which is often shortened to Prof. Arysio Santos, back in 2002 after I had returned to Wales from Tenerife. I had become fascinated with the Guanche people, who were the original inhabitants of Tenerife and the other Canary Islands, as well as the strange Dragon Trees (Dracaena draco) that grow here.
I had been searching for information online and soon came upon Prof. Santos and his website about Atlantis. The Canary Islands are believed by many to be all that is left of Atlantis and this is confirmed in the books of Colonel James Churchward, however, Arysio did not agree with this and had come up with a discovery he believed was where the true location of Atlantis was. I became his friend and we exchanged very many emails.
Prof. Santos, who was trained in academic science and was a professor of nuclear physics in Brazil, told me he had originally started his research into Atlantis as a sceptic and unbeliever but having researched throughly into world religions, occult traditions, geology and word derivations he had become convinced it was very very real indeed. It became a mission of his to get the knowledge that Atlantis was real out to this crazy world.
He had a completely new theory - that Atlantis could not be found because everyone had been looking in the wrong place and that Plato's work on the subject had been misunderstood. Arysio believed that the true location of Atlantis was in the area of the Indian Ocean and the South China Sea. The Indonesian islands are all that is left of it.
He also felt that India was one of its nearest and many colonies and that the holy books known as the Vedas and the Hindu religion are based on and in Atlantis. The professor also believed that many other religious ceremonies such as baptism were memories of Atlantis and how it perished under the seas.
Arysio thought that that Guanche language was derived from Dravidian and set out a very good case proving this by comparing Dravidian words with those of the Guanche - many are nearly identical. He had also written on The Mysterious Origin of the Guanches.
He believed that the "Golden Age" and the Garden of Eden and "Paradise" were all memories of Atlantis as it once was and that after its destruction the survivors had to begin again and had lost all their technological advances and were reduced to a very primitive way of living.
His idea was that Atlantis was destroyed following a cataclysmic volcanic eruption and tsunami that shook the entire world. He told me once that he thought it might have been triggered deliberately in nuclear war by these ancient people who lived on Atlantis and he was praying this was not going to be the fate of the world again.
Arysio asked me if I thought we could collaborate in putting a book together for the European or American market, a book that would be condensed from all of his research work that spanned over 20 years of time.
His work covered so many fields of knowledge and also speculated on the Atlanteans as being brilliant genetic scientists who had created plants we have today including most of those that have entheogenic or other drug properties.
As I said, his work covered so many fields such as geology, linguistics, climatology, anthropology, archaeology and included botany, a subject I was very interested in myself. I agreed to help put a book together but having made several starts on it I had to admit defeat. I told Arysio that I simply could not find a way of linking all the pieces of the massive jigsaw together and keep it within one volume and make it a work that a publisher would be likely to take on. He understood my difficulty completely.
I carried on corresponding and joined the forums for his website and eventually I was delighted to find that he had at last found someone to help put that book together and had got it published. I knew this was part of his mission in life to get that book out there.
I moved from Wales to Tenerife back at the end of 2004 and lost personal touch to a large degree with Arysio but I was still keeping up to date on his forums but sadly the site got hacked and the forums were lost.
I just had cause to go to his site today and very sadly found that my friend Prof. Arysio Santos has passed away and an announcement to this effect had been posted on the site earlier this year.
I am writing this hub as a sort of tribute to a very great man, who was a true pioneer when it came to alternative history of this planet, and a man whose work needs to be looked at if you are interested in the mystery of Atlantis. Prof. Arysio Santos believed he had solved that mystery.
For more info: There is a very interesting and in depth interview with Frank Joseph Hoff - Prof. Arysio Santos' Understudy, Researcher & Business Agent until his untimely death on September 09, 2005, that can be listened to on the following link: