
Yang Sering Berkunjung
Cari Blog Ini
Entri Populer
-
DATA CENTER Definisi Data Center ü . . . komponen penting dari infrastruktur yang mendukung Internet dan perdagangan digital Juga sek...
-
Oleh : TJUK SUDARSONO Instruktur Transportasi Udara & Praktisi Penerbangan Memahami pentingnya Emergency Operation Center (EOC) atau Pus...
-
RAMUAN VIRAL "Rahasia Dibalik Konten Viral" Saya akan beritahu Anda sebuah "rahasia"... Rahasia bagaiman...
-
TAK ada pesta dalam pernikahannya. Tak pula ada orang tua, keluarga, atau kerabat yang menyaksikan momen sakral itu. Hanya ada mereka ber...
-
ElasticSearch merupakan search engine full-text yang bisa diakses melalui RESTful API. Search engine ini berorientasi dokumen (hampir sep...
-
Identifikasi dan analisa Hazard , serta penilaian dari resiko yang akan ditimbulkan oleh Hazard tersebut, merupakan suatu metoda efektif d...
-
Diamabil dari bukunya Prof Rhenald Kasali yang judul nya DISRUPTION ada yang menarik untuk di ketahui disebutkan bahwa Akibat serangan d...
-
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN dari sisi BANDAR UDARA Ditulis oleh DR.H.K.Martono SH LLM Senin, 19 Januari 2009 15:...
-
Sebelum nya kita kenalan dulu apa itu elasticsearch, elasticsearch adalah search engine full-text yang bisa diakses melalui RESTful API. E...
-
Soal soal psikotes ini saya dapat dari beberapa situs gratis, jadi yang mau download silahkan saja. Soal psikotes ini saya publish setetalah...
Sabtu, 05 September 2009
Emergency Locator Beacon Aircraft

Perangkat sejenis ELBA yang dipasang di kapal dinamakan Emergency Position Indicating Reporting Beacon (EPIRB). Selain itu, ada pula alat sejenis untuk perorangan, yakni Personal Locator Beacon (PLB). Berbeda dengan ELBA dan EPIRB, PLB hanya bisa diaktifkan secara manual.
Metode ELBA telah diterapkan lebih dari tiga dekade dan diyakini keandalannya oleh negara-negara maju di dunia.
Daftar isi:
1. Asal mula
2. Satelit Pendukung ELT
3. Pemanfaatan Lain
4. Referensi
1. Asal mula
Dalam catatannya di pilot web (18/9/2003), Michael Atkinson menuturkan bahwa dorongan bagi pembuatan sistem pemberitahuan darurat ini muncul tahun 1970 ketika pesawat yang ditumpangi dua anggota Kongres AS hilang di Alaska. Meskipun telah dilakukan upaya pencarian besar-besaran, tak ada jejak pesawat maupun penumpangnya yang ditemukan. Sebagai buntutnya, Kongres pun lalu menuntut bahwa semua pesawat di AS membawa ELT. Alat ini dirancang untuk bisa aktif begitu terjadi crash dan memancarkan sinyal yang memberitahukan posisi diri (homing).
Frekuensi yang dipilih untuk operasi ELT adalah 121,5 megahertz (MHz) untuk darurat penerbangan sipil, dan 243 MHz untuk penerbangan militer, yang masuk sebagai frekuensi UHF darurat penerbangan.
Namun, sistem yang dimaksudkan murni untuk pewartaan keadaan darurat ini memperlihatkan keterbatasan: frekuensi sipil sesak dan dirancang pertama-tama untuk transmisi suara. Lalu, karena suar berdaya rendah, sinyalnya pun acap terlindas transmisi suara yang berdaya tinggi. Lebih jauh lagi, saat itu belum ada cara untuk mengenali dari arah mana datangnya sinyal tersebut (selain melalui cara homing) dan—yang lebih penting lagi—ada stasiun yang cukup dekat dan siap mendengarkan sinyal tersebut.
Keterbatasan ini berlangsung selama beberapa tahun, membuat manfaatnya kurang bisa dirasakan. Dari sini muncul ide untuk memanfaatkan sistem berbasis satelit. Akhirnya frekuensi suar darurat pun dialokasikan untuk sistem ini, yakni 406 MHz. Sistem bercakupan global ini mampu secara unik mengenali setiap suar. Pada generasi berikut, Inmarsat atau International Maritime Satellite mengoperasikan suar berfrekuensi 1,6 GHz.
Sistem pencarian korban di daerah terpencil berbasis satelit untuk wilayah AS, Kanada, dan Perancis dikenal dengan nama SARSAT atau Search and Rescue Satellite-Aided Tracking, sementara Uni Soviet (saat itu) mengembangkan COSPAS atau Sistem Angkasa untuk Pencarian Kapal yang Mengalami Keadaan Darurat. Kedua sistem itu kemudian digabung tahun 1979.
Sistem SARSAT-COSPAS terdiri dari tiga elemen: elemen angkasa berupa satelit, elemen darat yang dinamai Local User Terminal (LUT) dan Mission Control Centre (MCC), dan elemen bergerak yang tidak lain adalah alat suar (beacon), yang antara lain dipasang pada pesawat. Dalam uji coba, sistem ini bisa mengarahkan regu penyelamat hingga ke jarak 22,5 kilometer dari tempat kecelakaan.
Setelah dioperasikan tahun 1985, anggota SARSAT-COSPAS pun bertambah dari empat menjadi lebih dari 30, dan sistem mengoperasikan lebih dari 50 stasiun Bumi dan 20 MCC di seluruh dunia.
2. Satelit Pendukung ELT
Dalam operasinya, sistem penentu lokasi darurat didukung dua rumpun satelit. Yang pertama adalah satelit-satelit Geosar (Geostationary SAR) dan yang kedua adalah satelit-satelit Leosar (Low-Earth Orbit Search-and-Rescue).
Komponen Leosar didukung dua satelit COSPAS yang mengorbit kutub pada ketinggian 1.000 kilometer, dan dua satelit meteorologi AS, NOAA, yang mengorbit pada ketinggian 850 kilometer. Setiap satelit dilengkapi dengan instrumentasi SAR, dan mengorbit Bumi dari kutub ke kutub satu kali setiap 100 menit. Setiap satelit melayang dengan kecepatan tujuh kilometer per detik, menyisir satu strip permukaan Bumi dengan lebar 6.000 kilometer.
Sistem Geosar didukung tiga satelit geostasioner (seperti halnya orbit Palapa, 35.000 kilometer), dua dari AS dan satu dari India.
Dengan adanya dua sistem di atas, sistem buminya pun dibuat untuk mendukung operasi Leosar dan Geosar.
Dalam kaitan ini, operasi SARSAT-COSPAS terus dimutakhirkan. Misalnya saja dengan memensiunkan satelit yang melayani suar yang beroperasi pada jangkauan frekuensi 121,5 dan 243 MHz, dan mulai mendorong penggunaan suar berfrekuensi 406 MHz. Satelit untuk mendukung frekuensi ini akan mulai beroperasi penuh tahun 2009.
3. Pemanfaatan Lain
Pada kenyataannya, sistem SARSAT-COSPAS telah dimanfaatkan tidak saja untuk menetapkan lokasi jatuhnya pesawat di pegunungan, tetapi juga untuk memberikan pertolongan kepada kapal yang rusak di tengah laut, atau bahkan individu yang luka-luka tatkala mendaki gunung.
Adanya pertolongan cepat ini amat penting mengingat dalam kejadian darurat setiap menit demikian berharga. Namun, sementara kecepatan amat vital, sering kali lokasi yang harus dituju amat sulit. Belum lagi jika kecelakaan terjadi di tengah musim hujan seperti sekarang ini di banyak wilayah Indonesia.
Selasa, 18 Agustus 2009
CNS/ATM Communication Navigation Surveillance / Air Traffic Management System
CNS/ATM |
Ditulis oleh Fadjar A. Nugroho |
Jumat, 27 Juni 2008 17:56 |
Komunikasi dengan ATC menggunakan ACARS Dengan CNS/ATM ini, komunikasi dan pengawasan dapat dilakukan melalui satelit sehingga cakupannya lebih luas. Contohnya negara Indonesia yang terdiri dari laut dan daerah terpencil yang tidak terjangkau radar biasa, akan dapat diatur dengan mudah menggunakan CNS/ATM ini. Komponen CNS/ATM adalah:
Penjelasan di bawah ini mungkin membutuhkan pengetahuan tentang Radio Telephony. Pembaca selain penerbang dan ATC mungkin harus merujuk pada tulisan mengenai radio telephony baik di internet maupun di website ilmuterbang,com. A. AFN ATS Facilities Notification ini adalah metode untuk memberi tahu ATC bahwa pesawat memiliki kemampuan berkomunikasi dengan datalink. Notifikasi ini dimulai oleh awak pesawat. B. CPDLC Notifikasi ke VABF, ATC di Mumbai, India Normalnya komunikasi antara awak pesawat dengan ATC (Air Traffic Controller) dilakukan dengan menggunakan radio pemancar VHF (Very High Frequency) maupun HF (High Frequency). Dalam komunikasi ini kedua pihak harus saling mendengarkan di saat yang bersamaan. Sedangkan dengan CPDLC , penerbang dan ATC berkomunikasi dengan media teks, seperti teleks atau chat di Internet. Hubungan pesawat dengan ATC menggunakan komunikasi data ACARS (untuk penjelasan tentang ACARS, silahkan lihat artikel terkait di site ini) dengan ACARS ini komunikasi dengan ATC dapat dilakukan dengan digital dan mempunyai keuntungan untuk berkomunikasi tanpa harus berada di waktu yang bersamaan karena semua pesan terekam di perangkat penerima dan tidak hilang sebelum mendapat umpan balik dari penerima pesan. Cara ini hampir mirip dengan penggunaan SMS pada telepon selular. Hal ini juga sangat membantu terutama di daerah di luar jangkauan radio biasa. Jika pesawat keluar dari jangkauan radio VHF yang bisa memancar sekitar 200 nm atau 360 km, maka dengan otomatis, perangkat ACARS akan berkomunikasi melalui satelit, SATCOM atau pada gelombang HF yang mempunyai jangkauan lebih jauh dari gelombang VHF. Dengan CPDLC, ATC dapat memberikan semua perintah dan ijin (clearance) yang biasanya dilakukan dengan komunikasi suara, dan awak pesawat dapat menjawab dengan memilih jawaban yang sudah ditentukan (contohnya, Roger, Standby atau Wilco).
Dalam keadaan darurat pun ada pilihan untuk mengirim pesan darurat dan mendapatkan prioritas. Komponen CPDLC Keyboard FMS adalah alat input CPDLC
Bekerja dengan CPDLC Secara umum cara kerja CPDLC dapat dimulai dari darat, dengan mendapatkan ijin keberangkatan, departure clearance. Jika biasanya clearance diberikan oleh Clearance Delivery di frekuensi tertentu, maka sekarang awak pesawat akan meminta clearance lewat CPDLC dan kemudian jawaban juga didapat di tampilan CPDLC. Biasanya setelah mendapatkan clearance, maka komunikasi radio biasa digunakan untuk menghubungi Ground/ Apron Control untuk meminta ijin start engine. Komunikasi selanjutnya juga berlangsung seperti biasa dari frekuensi Tower ke frekuensi Departure Control lalu ke Area Control Center. Nah, CPDLC kemudian akan kembali dipakai pada saat pesawat berada di luar jangkauan radio Area Controller. Di sinilah komunikasi ala teleks atau mesin Fax dimulai. Uplink Uplink adalah komunikasi dari ATC ke awak pesawat. Isi pesannya bisa berupa:
Downlink Downlink adalah kebalikannya, dimana awak pesawat mengirim pesan berupa:
Di bawah ini beberapa tampilan CPDLC, selama awak pesawat berkomunikasi dengan ATC. Gambar-gambar di bawah diambil dari beberapa penerbangan jadi tidak mempunyai urutan yang konsisten. Mumbai meminta position report ke penerbang Informasi traffic dari ATC Mumbai
Clearance baru dari ATC Mumbai
C. ADS Automatic Dependent Surveillance Di buku Jeppesen yang juga mengambil dari ICAO Doc 4444, ADS digambarkan sebagai: A surveillance technique in which aircraft automatically provide, via a data link, data derived from on-board navigation and position-fixing systems, including aircraft identification, four-dimensional position and additional data as appropriate. Jadi intinya, dengan memanfaatkan teknologi ACARS, perangkat ADS di pesawat mempunyai kemampuan untuk mengirimkan data posisi dan data lain secara otomatis kepada ATC. Pada perangkat yang terpasang di Airbus A330, sampai dengan 5 ATC atau AOC center, dapat berhubungan dengan ADS di pesawat. Untuk bisa berhubungan dan mengirimkan data secara otomatis, pilihan ADS harus diubah dari OFF menjadi ARMED. Dalam keadaan ARMED, maka jika ada ATC yang mencoba menghubungi, perangkat ADS akan memberi status CONNECTED. Data yang umum dikirimkan ke ATC secara otomatis ini antara lain: Data block 1
Data block 2, data ini berupa data cuaca yang rasakan oleh sensor-sensor di pesawat.
Informasi lain dapat ditambahkan oleh penerbang dengan memasukkan data secara manual dan mengirimkannya pada ATC. Kelebihan dari sistem ADS ini adalah, tidak diperlukannya radar surveillance yang biasa dipakai secara konvensional. Tapi keakuratan data yang didapat oleh ATC akan sangat bergantung pada keakuratan sistem navigasi pesawat. Karena posisi pesawat di tampilan ATC digambar berdasarkan laporan otomatis dari ADS. Jadi dengan menggabungkan ADS dengan radar surveillance yang konvensional akan menambah keakuratan data posisi pesawat. Dari semua sistem yang ada, surveillance radar ataupun ADS, sebuah pesawat memberikan posisinya pada ATC. Generasi baru ADS yang disebut ADS-B (ADS-Broadcast) memberikan posisi pesawat pada ATC dan juga pesawat di sekitarnya. Jadi antar pesawat juga memiliki informasi posisi pesawat di sekitarnya. |
Kamis, 13 Agustus 2009
Ternyata Atlantis Adanya dari Indonesia

Professor Arysio Santos believed he had found Atlantis
I first came upon the name of Professor Arysio Nunes dos Santos, which is often shortened to Prof. Arysio Santos, back in 2002 after I had returned to Wales from Tenerife. I had become fascinated with the Guanche people, who were the original inhabitants of Tenerife and the other Canary Islands, as well as the strange Dragon Trees (Dracaena draco) that grow here.
I had been searching for information online and soon came upon Prof. Santos and his website about Atlantis. The Canary Islands are believed by many to be all that is left of Atlantis and this is confirmed in the books of Colonel James Churchward, however, Arysio did not agree with this and had come up with a discovery he believed was where the true location of Atlantis was. I became his friend and we exchanged very many emails.
Prof. Santos, who was trained in academic science and was a professor of nuclear physics in Brazil, told me he had originally started his research into Atlantis as a sceptic and unbeliever but having researched throughly into world religions, occult traditions, geology and word derivations he had become convinced it was very very real indeed. It became a mission of his to get the knowledge that Atlantis was real out to this crazy world.
He had a completely new theory - that Atlantis could not be found because everyone had been looking in the wrong place and that Plato's work on the subject had been misunderstood. Arysio believed that the true location of Atlantis was in the area of the Indian Ocean and the South China Sea. The Indonesian islands are all that is left of it.
He also felt that India was one of its nearest and many colonies and that the holy books known as the Vedas and the Hindu religion are based on and in Atlantis. The professor also believed that many other religious ceremonies such as baptism were memories of Atlantis and how it perished under the seas.
Arysio thought that that Guanche language was derived from Dravidian and set out a very good case proving this by comparing Dravidian words with those of the Guanche - many are nearly identical. He had also written on The Mysterious Origin of the Guanches.
He believed that the "Golden Age" and the Garden of Eden and "Paradise" were all memories of Atlantis as it once was and that after its destruction the survivors had to begin again and had lost all their technological advances and were reduced to a very primitive way of living.
His idea was that Atlantis was destroyed following a cataclysmic volcanic eruption and tsunami that shook the entire world. He told me once that he thought it might have been triggered deliberately in nuclear war by these ancient people who lived on Atlantis and he was praying this was not going to be the fate of the world again.
Arysio asked me if I thought we could collaborate in putting a book together for the European or American market, a book that would be condensed from all of his research work that spanned over 20 years of time.
His work covered so many fields of knowledge and also speculated on the Atlanteans as being brilliant genetic scientists who had created plants we have today including most of those that have entheogenic or other drug properties.
As I said, his work covered so many fields such as geology, linguistics, climatology, anthropology, archaeology and included botany, a subject I was very interested in myself. I agreed to help put a book together but having made several starts on it I had to admit defeat. I told Arysio that I simply could not find a way of linking all the pieces of the massive jigsaw together and keep it within one volume and make it a work that a publisher would be likely to take on. He understood my difficulty completely.
I carried on corresponding and joined the forums for his website and eventually I was delighted to find that he had at last found someone to help put that book together and had got it published. I knew this was part of his mission in life to get that book out there.
I moved from Wales to Tenerife back at the end of 2004 and lost personal touch to a large degree with Arysio but I was still keeping up to date on his forums but sadly the site got hacked and the forums were lost.
I just had cause to go to his site today and very sadly found that my friend Prof. Arysio Santos has passed away and an announcement to this effect had been posted on the site earlier this year.
I am writing this hub as a sort of tribute to a very great man, who was a true pioneer when it came to alternative history of this planet, and a man whose work needs to be looked at if you are interested in the mystery of Atlantis. Prof. Arysio Santos believed he had solved that mystery.
For more info: There is a very interesting and in depth interview with Frank Joseph Hoff - Prof. Arysio Santos' Understudy, Researcher & Business Agent until his untimely death on September 09, 2005, that can be listened to on the following link:
Senin, 10 Agustus 2009
[GM2020] Teknologi RFID bisa mengubah peradaban suatu bangsa
Sofyan Uli
Thu, 11 Sep 2008 14:05:50 -0700
Ini ada artikel menarik sebuah teknologi yang bisa mengubah peradaban suatu bangsa. Anda tentu mengenal barcode? Sebuah kode-kode tertentu yang diekspresikan dengan susunan garis-garis hitam (bar) dan putih (space) yang berbeda ketebalannya seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Kebutuhan terhadap identifikasi keberadaan suatu barang (item) secara otomatis (Auto-ID) di bidang industri, perdagangan dan distribusi logistik melahirkan penggunaan barcode ini lebih dari 30 tahun yang lalu. Buku-buku dan produk-produk yang dijual di toko buku dan supermarket misalnya selalu dilengkapi dengan barcode untuk memudahkan identifikasinya saat pendataan atau pembayaran di kasir dengan menggunakan sebuah alat pembaca (reader). Satu set barcode terdiri dari beberapa kode, dimana satu kode terdiri dari 7 unit garis warna hitam atau putih yang jika berdampingan akan terlihat garis hitam atau putih yang lebih tebal. 1. Dari barcode menuju ke RFID Walau terbukti murah dan dapat dipakai di berbagai bidang, barcode ini ternyata mempunyai banyak kelemahan yaitu selain karena hanya bisa diidentifikasi dengan cara mendekatkan barcode tersebut ke sebuah reader, juga karena mempunyai kapasitas penyimpanan data yang sangat terbatas dan tidak bisa diprogram ulang sehingga menyulitkan untuk menyimpan dan memperbaharui data dalam jumlah besar untuk sebuah item. Salah satu solusi menarik yang kemudian muncul adalah menyimpan data tersebut pada suatu silikon chip. RFID yang merupakan singkatan dari Radio Frequency Identification merupakan teknologi identifikasi baru yang dalam pengoperasiannya terjadi kontak antara transponder (tag) atau divais pembawa data yang terbuat dari silikon chip dilengkapi sebuah radio antena kecil dan reader yang terhubung dengan sistem komputer. Kontak antara RFID tag dengan reader tidak dilakukan secara kontak langsung atau mekanik melainkan dengan pengiriman gelombang electromagnet. Berbeda dengan smart card yang biasa dipakai di kartu telepon atau kartu bank yang juga menggunakan silikon chip, kode-kode RFID tag bisa dibaca pada jarak yang cukup jauh. Sekarang ini RFID tag standard biasanya mampu menyimpan tidak lebih dari 128 bit. Sebagian besar memori tersebut dipakai untuk kode produk elektronik yang berisi informasi produsen, jenis produk, dan nomor serial. Karena setiap RFID tag adalah unik, maka dua buah kaleng minuman ringan dengan jenis yang sama akan memiliki kode yang berbeda, dimana sebaliknya jika menggunakan barcode semua produk sejenis akan menggunakan kode yang sama. Perbedaan lain antara barcode dan RFID adalah, RFID tag memerlukan sumber tenaga listrik untuk menggerakan sirkuit rangkaian terpadu di dalam tag tersebut, dan biasanya dan tentunya RFID tag tidak bisa menggunakan baterai yang membuat biayanya menjadi mahal. Pemecahannya adalah dengan cara mengirimkan energi listrik melalui medan electromagnet dari reader ke RFID tag. Sebaliknya reader dapat membaca banyak RFID tag dalam waktu bersamaan dalam jarak antara beberapa cm sampai 10 meter atau lebih. 2. Aplikasi sederhana RFID Untuk sebuah produk hasil pertanian yang dijual di supermarket, jika selama ini dengan menggunakan barcode hanya data jenis produk yang mampu tersimpan, di masa datang diharapkan RFID tag mampu menyimpan tidak hanya data jenis produk namun juga misalnya untuk sebuah produk beras dapat diketahui daerah asal produksi beras, kapan beras itu pertama kali ditanam dan dipanen, metode penanaman dan pembuatannya, bahkan nama dan data petaninya secara otomatis. Keuntungan lain adalah kasir maupun pembeli dapat mengetahui total harga barang yang ada di keranjang belanja dalam waktu sekejap, atau bahkan kasir bisa mengetahui barang-barang yang mungkin saja dikutil oleh pembeli yang tidak diletakkan di keranjang belanja. Aplikasi lain penggunaan RFID misalnya dalam pengiriman barang yang selalu dapat diawasi secara real time (waktu sebenarnya) dalam waktu yang tak lama lagi dapat terwujud. Mr. Tanaka yang tinggal di Tokyo akan mengirimkan paket kepada rekan bisnisnya Ms. Colin di London, dimana paket tersebut dilengkapi RFID tag sehingga bisa selalu diamati rute perjalanannya. Mr. Tanaka dapat mengetahui lokasi-lokasi paket tersebut pada waktu tertentu dengan mengaksesnya melalui internet saat paket itu mulai dikirim dari rumah Mr. Tanaka di Shibuya sampai ke Bandara Narita, dia juga tahu kapan paketnya diangkut ke dalam pesawat JAL di Narita dan kapan paketnya diturunkan dari pesawat di Bandara Heathrow, lalu akhirnya paket itu ada dalam perjalanan dari bandara sampai di kediaman Ms. Colin di London. Hal ini semua bisa dilakukan karena paket yang dilengkapi RFID tag itu teridentifikasi oleh reader-reader yang terpasang pada gate-gate yang dilaluinya, yang tak mungkin dilakukan jika proses identifikasi itu tidak secara otomatis dan tidak menggunakan gelombang electromagnet. 3. Ubiquitous network Mungkin dalam beberapa waktu terakhir kita pernah mendengar istilah ubiquitous computing, atau ubiquitous network. Kata ??biquitous??menurut kamus Merriam-Webster bisa diartikan sebagai ??da di berbagai tempat dalam waktu yang sama?? Sehingga konsep ubiquitous computing, atau ubiquitous network itu mungkin bisa diterjemahkan secara sempit misalnya sebagai kemampuan akses ke sebuah network (internet) di mana saja. Konsep ubiquitous network diharapkan akan menjadi semakin luas di masa depan berkat hadirnya teknologi RFID. Teknologi yang ada saat ini hanya mampu mengenal dan mengidentifikasi divais-divais elektronik yang terhubung dengan internet dengan IP address saja. Di masa depan, dengan berkembangnya pemanfaatan teknologi RFID ini, tidak hanya divais-divais elektronik seperti computer, PDA atau telepon seluler tetapi juga bahkan diharapkan semua barang-barang non-elektronik yang ada di sekitar kita dapat diidentifikasi secara otomatis. Perkembangan ini juga seiring dengan lahirnya teknologi internet protocol baru yang disebut IPv6 yang menggunakan 128 bit address yang berarti mampu mengakomodasi lebih dari 3x1038 alamat. Sementara IPv4 yang ada saat ini hanya memiliki 32 bit address sehingga alamat-alamat yang tersedia terasa sudah sangat terbatas. Teknologi RFID ini diharapkan dapat mewujudkan suatu infrastruktur baru yang mengubah gaya hidup dan peradaban suatu kelompok masyarakat di masa depan seperti juga perubahan-perubahan yang terjadi pada gaya hidup masyarakat sejak lahirnya komputer dan internet. 4. Problematika dan etika Tak lama lagi, lingkungan kita akan mengenal diri kita bahkan tanpa kita sadari berkat teknologi- teknologi IPv6, RFID atau teknologi sensor lainnya. Laporan menunjukkan bahwa di banyak negara jumlah telepon seluler melampaui telepon biasa (non-seluler), bahkan di negara-negara tertentu perbandingan antara jumlah saluran telepon seluler dan total saluran telepon sudah melampaui angka 90%. Masyarakat di Tokyo misalnya, sebagian besar dari mereka selalu terhubung dengan internet dengan membawa telepon seluler di saat bepergian. Nantinya, informasi-informasi yang ada di RFID tag di pesawat telepon seluler kita, dan reader-reader yang tersebar di seluruh pelosok kota misalnya di setiap ticket gate di stasiun-stasiun kereta, akan diperbaharui dengan adanya komunikasi antara RFID tag dan RFID reader, saat kita melintas di dekat gate-gate tersebut. Dengan cara ini, seorang boss di kantor dapat mengecek apakah salesman-salesman di kantornya bekerja baik menawarkan produk-produk perusahaan itu kepada pelanggan atau tidak. Sebuah keuntungan bagi perusahaan namun pelanggaran privasi bagi salesman yang merasa selalu diamati langkahnya. Sebelum kita menilai apakah teknologi seperti ini melanggar privasi atau tidak, mari kita melihat kasus lain. Sebuah SD di provinsi Wakayama di Jepang akan mencoba penggunaan RFID tag yang akan dipasang di tas sekolah dan tag nama di seragam siswanya. Sementara RFID reader akan dipasang di pintu gerbang sekolah, dan berbagai lokasi di dalam sekolah. Dengan cara ini reader akan mencatat apakah ada murid yang membolos atau tidak dan mengirim e-mail secara otomatis kepada orang tua murid yang membolos itu. Cara ini juga dapat mencegah jika ada orang yang tidak dikenal masuk ke dalam lingkungan sekolah atau terjadi tindakan ijime atau penindasan/kenakalan di antara sesawa murid yang marak terjadi di sekolah-sekolah di Jepang. Dengan tambahan instalisasi RFID reader di jalur-jalur yang dilalui murid-murid diharapkan dapat mencegah kasus penculikan dan menjamin keselamatan murid-murid. Kalau beberapa waktu lalu perkembangan RFID masih terhambat dengan mahalnya harga sebuah RFID tag, sekarang RFID tag sudah dapat diproduksi dengan harga 5-cent (dalam satuan dollar Amerika). Dalam waktu yang tak lama, diharapkan harga RFID tag bahkan bisa jatuh harganya sampai 1 cent atau lebih murah lagi. Sehingga meluasnya pemanfaatan dan penerapan teknologi RFID sudah tidak akan disangsikan lagi, karena biaya penerapan teknologi baru ini sudah tidak menjadi persoalan. Persoalan yang tersisa adalah distribusi informasi yang berhubungan dengan privasi seseorang. Karena penyalahgunaan wewenangan akses informasi ini akan melebihi dari penyadapan suara atau apa yang bisa diamati oleh seorang admin terhadap user nya pada sebuah internet network. Seseorang akan tercatat semua gaya hidupnya dengan terinstalisasinya RFID reader di berbagai pelosok kota, di mulai dari pagi hari saat keluar rumah sampai pulang saat malam hari, karena dalam sehari dia menggunakan kendaraan umum sebagai alat transportasinya, juga karena dia harus belanja di supermarket atau convenient store untuk kebutuhannya, dan lain sebagainya. Pemerintah dalam hal ini harus menjadi pelopor dengan menetapkan peraturan yang dapat mencegah terjadinya pelanggaran privasi oleh pengguna maupun penyelenggara sistem identifikasi ini. Juga sektor industri pembuat sistem RFID ini tentunya juga harus mampu menyediakan teknologi yang menggunakan teknologi nirkabel (wireless) ini mengakomodasi bandwidth yang cukup untuk kebutuhan dan dapat diakses dengan cepat dan aman. Hanya reader yang terautorisasi sajalah yang dapat mengakses tag. Perusahaan Hitachi tahun lalu mengeluarkan produk baru untuk RFID tag yang disebut μ-chip yang tak lebih besar dari sebongkah garam. Berbeda dengan RFID tag yang ada sebelumnya yang menggunakan external antena, μ-chip yang 0.4x0.4-mm2 ini menggunakan internal antena yang dibuat di dalam silicon chip. Dengan ditambah kemasan yang baik, μ-chip dapat dipasang tidak hanya di produk yang dijual di supermarket, namun juga di uang kertas untuk mencegah pemalsuan mata uang mengingat terbatasnya foundry di dunia ini yang bisa memproduksi silikon chip. Atau bisa juga RFID-tag itu diselipkan di tag merek-merek pakaian atau langsung ke tekstil itu sendiri sehingga kita bahkan bisa tahu misalnya waktu terakhir kita mencuci pakaian itu di mesin cuci. Yang tentu menjadi berbahaya kalau RFID-tag di pakaian kita bisa terbaca oleh suatu reader yang tidak berhak sehingga semua jenis pakaian yang kita kenakan termasuk pakaian dalam tentunya. Kasus ini bukan mengada-ada, karena pelanggaran privasi serupa ini menyebabkan kekhawatiran di kalangan masyarakat yang menyebabkan terjadinya demonstrasi menentang penggunaan RFID di sebuah kota di Jerman beberapa waktu yang lampau. Kasus penerapan teknologi RFID ini lah yang mungkin bisa disebut sebagai contoh dibutuhkannya kode etik dalam dunia teknologi dan engineering, seperti juga adanya kode etik dalam lingkungan kedokteran, hukum, maupun sastra. Danardono Dwi Antono Artikel lainnya bisa dibaca di http://www.dudung.net/teknologi-informasi/rfid-sebagai-peranti-pengenal-identitas.html http://herman.gubukopensource.org/2007/09/09/bagaimana-rfid-bekerja/