A.ALAT PERNAPASAN MANUSIA
Alat pernapasan manusia terdiri dari hidung, pangkal tenggorokan, batang tenggorokan, dan paru paru.
1. Hidung
Hidung merupakan alat pertama yang dilalui udara dari luar. Di dalam rongga hidung terdapat rambut dan selaput lendir. Rambut dan selaput lendir berguna untuk menyaring udara, mengatur suhu udara yang masuk agar sesuai dengan suhu tubuh, dan mengatur kelembapan udara.
2.Pangkal Tenggorokan (Laring)
Setelah melewati hidung, udara masuk ke pangkal tenggorokan (laring) melalui faring. Faring adalah hulu kerongkongan. Faring merupakan persimpangan antara rongga mulut ke kerongkongan dan rongga hidung ke tenggorokan (laring) udara masuk ke batang tenggorokan (trakea).
Pada daerah tekak, yaitu di langit langit mulut bagian belakang terdapat anak tekak. Pada pangkal tenggorokan (laring) terdapat katup yang disebut epiglottis. Ketiak kita bernapas, epiglotis terbuka dan anak tekak melipat ke bawah bertemu epiglottis. Udara akan masuk melalui melalui pangkal tenggorokan. Ketika kita menelan , epiglottis menutup pangkaal tenggorokan dan makanan akan masuk ke kerongkongan (esofagus). Tetapi jika kita menelan dan epiglottis belum menutup, makanan dan minuman akan masuk ke tenggorokan.
Saat itu kita tersedak. Pangkal tenggorokan (laring) terdiri atas keeping tulang rawan yang membentuk jakun. Jakun tersusun atas tulang lidah, katup tulang rawan, perisai tulang rawan, piala tulang rawan , gelang tulang rawan.
Pada pangkal tenggorokan terdapat selaput suara. Selaput suara akan bergetar bila terhembus udara dari paru-paru.
3. Batang Tenggorokan (Trakea)
Batang tenggorokan terletak di daerah leher, di depan kerongkongan. Batang tenggorokan merupakan pipa yang terdiri dari gelang-gelang tulang rawan. Panjang batang tenggorokan sekitar 10 cm. Dinding dalamnya dilapisi selaput lendir yang sel-selnya berambut getar. Rambut-rambut getar berfungsi untuk menolak debu dan benda asing yang bersama udara. Akibat tolakan secara paksa tersebut kita akan batuk atau bersin.
Cabang Batang Tenggorokan (Bronkus)
Batang tenggorokan bercabang menjadi dua bronkus, yaitu bronkus sebelah kiri dan sebelah kanan. Kedua bronkus menuju ke paru-paru. Di dalam paru-paru, bronkus bercabang menjadi bronkiolus. Bronkus sebelah kanan bercabang menjadi 3 bronkiolus sedangkan sebelah kiri bercabang menjadi dua bronkiolus. Cabang-cabang yang paling kecil masuk ke dalam gelembung paru-paru atau alveolus. Dinding alveolus mengandung kapiler darah. Melalui kapiler-kapiler darah di alveolus inilah oksigen dari udara di ruang alveolus akan berdifusi ke dalam darah.
Paru-paru
Paru-paru terletak di rongga dada di atas sekat diafragma. Diafragma adalah sekat rongga badan, yang membatasi rongga dada dan rongga perut. Pau-paru terdiri dari dua bagian, yaitu paru-paru kiri dan kanan. Paru-paru kanan memiliki tiga gelambir sedangkan paru-paru kiri memiliki dua gelambir.
Paru-paru dibungkus oleh selaput paru-paru yang disebut pleura. Selaput paru-paru terdiri dari dua lapis. Selaput paru-paru membungkus alveolus-alveolus. Jumlah alveolus kurang lebih 300 juta buah. Luas permukaan seluruh alveolus diperkirakan 100 kali dari luas permuklaan tubuh manusia.
Volume udara di dalam paru-paru orang dewasa lebih kurang 5 liter. Kemampuan paru-paru menampung udara diebut dengan daya tampung paru-paru atau kapasitas paru-paru. Volume udara yang dipernapaskan oleh tubuh tergantung besar kecilnya paru-paru, kekuatan bernapas, dan cara bernapas. Pada pernapasan biasa orang dewasa udara yang keluar dan masuk paru-paru sebanyak 0,5 liter. Udara sebanyak ini disebut udara pernapasan atau udara tidal.
Apabila kalian menarik napas sedalam-dalamnya dan menghembuskan napas sekuat-kuatnya, volume yang dan ke luar lebih kurang sebanyak 3,5-4 liter. Volume udara ini disebut kapasitas vital paru-paru. Sebanyak 1-1,5 liter udara tetap tinggal di paru-paru walaupun kita telah menghembuskan napas sekuat-kuatnya. Volume udara ini disebut udara residu.
B.PROSES PERNAPASAN
Paru-paru manusia berada berada di dalam rongga dada. Rongga dada dipisahkan dari rongga perut oleh sekat diafragma. Rongga dada dilindungi oleh tulang rusuk dan tulang dada.
Proses pernapasan terdiri dari dua kegiatan, yaitu menghirup udara atau menarik napas dan menghembuskan udara atau mengeluarkan napas. Menghirup udara disebut inspirasi dan menghembuskan udara disebut ekspirasi.
Berdasarkan bagian tubuh yang mengatur kembang kempisnya paru-paru, pernapasan dapat dibedakan menjadi pernapasan dada (pernapasan tulang rusuk) dan pernapasan perut (pernapasan diafragma)
1. Pernapasan Dada
Pernapasan dada terjadi karena gerakan otot-otot antartulang rusuk. Bila otot antartulang rusuk berkontraksi, tulang rusuk terangkat naik. Akibatnya volume rongga dada membesar, sehingga tekanan rongga dada turun dan paru-paru mengembang. Pada saat paru-paru mengembang, tekanan udara di dalam paru-paru lebih rendah daripada tekanan udara di atsmosfer. Akibatnya udara mengalir dari luar kedalam paru-paru (inspirasi). Sebaliknya, ketika otot-otot antartulang rusuk relaksasi, tulang rusuk turun. Akibatnya rongga dada menyempit dan tekanan udara di dalamnya naik. Keadaan ini membuat paru-paru mengempis. Karena paru-paru mengempis, tekanan udara di dalam paru-paru lebih tinggi daripada tekanan atsmosfer, sehingga udara keluar (ekspirasi).
2. Pernapasan Perut
Pernapasan perut terjadi akibat gerkan diafragma. Jika otot diafragma berkontraksi, diafragma yang semula cembung ke atas bergerak turun menjadi agak rata. Akibatnya rongga dada membesar dan paru-paru mengembang sehingga perut menggembung, tekanan udara di dalam paru-paru turun dan udara dari luar masuk ke dalam paru-paru (inspirasi).
Ketika otot diafragma relaksasi, diafragma kembali ke keadaan semula (cembung). Akibatnya rongga dada menyempit. Pada saat semikian paru-paru mengempis dan mendorong udara keluar dari paru-paru (ekspirasi). Pernapasan perut terjadi terutama pada saat tidur.
C.Gas-gas dalam udara pernapasan
Pada pernapasan ada udara yang masuk dan ada udara yang dikeluarkan. Susunan atau komposisi gas-gas yang ada dalam udara yang masuk dan udara yang dikeluarkan dalam pernapasan berbeda-beda.
D.Kelainan Dan Penyakit Pada Sistem Pernapasan
Alat-alat pernapasan merupakan organ tubuh yang sangat penting. Jika alat ini terganggu karena penyakit atau kelainan maka proses pernapasan akan terganggu, bahkan dapat menyebabkan kematian.
Berikut akan diuraikan beberapa macam gangguan yang umum terjadi pada saluran pernapasan manusia.
1.Influenza (flu), penyakit yang disebabkan oleh virus influenza. Gejala yang ditimbulkan antara lain pilek, hidung tersumbat, bersin-bersin, dan tenggorokan terasa gatal.
2.Asma atau sesak napas, merupakan suatu penyakit penyumbatan saluran pernapasan yang disebabkan alergi terhadap rambut, bulu, debu, atau tekanan psikologis. Asma bersifat menurun.
3.Tuberkulosis (TBC), penyakit paru-paru yang diakibatkan serangan bakteri mycobacterium tuberculosis. Difusi oksigen akan terganggu karena adanya bintil-bintil atau peradangan pada dinding alveolus. Jika bagian paru-paru yang diserang meluas, sel-selnya mati dan paru-paru mengecil. Akibatnya napas penderita terengah-engah.
4.Macam-macam peradangan pada sistem pernapasan manusia:
a.Rinitis, radang pada rongga hidung akibat infeksi oleh virus, missal virus influenza. Rinitis juga dapat terjadi karena reaksi alergi terhadap perubahan cuaca, serbuk sari, dan debu. Produksi lendir meningkat.
b.Faringitis, radang pada faring akibat infeksi oleh bakteri Streptococcus. Tenggorokan sakit dan tampak berwarna merah. Penderita hendaknya istirahat dan diberi antibiotik.
c.Laringitis, radng pada laring. Penderita serak atau kehilangan suara. Penyebabnya antara lain karena infeksi, terlalu banyak merokok, minum alkohol, dan terlalu banyak serak.
d.Bronkitis, radang pada cabang tenggorokan akibat infeksi. Penderita mengalami demam dan banyak menghasilkan lendir yang menyumbat batang tenggorokan.
e.Sinusitis, radang pada sinus. Sinus letaknya di daerah pipi kanan dan kiri batang hidung. Biasanya di dalam sinus terkumpul nanah yang harus dibuang melalui operasi.
5.Asfikasi, adalah gangguan pernapasan pada waktu pengangkutan dan penggunaan oksigen yang disebabkan oleh: tenggelam (akibat alveolus terisi air), pneumonia (akibatnya alveolus terisi cairan lendir dan cairan limfa), keracunan CO dan HCN, atau gangguan sitem sitokrom (enzim pernapasan).
6.Asidosis, adalah kenaikan adalah kenaikan kadar asam karbonat dan asam bikarbonat dalam darah, sehingga pernapasan terganggu.
7.Difteri, adalah penyumbatanpada rongga faring atau laring oloeh lendir yang dihasilkan kuman difteri.
8.Emfisema, adalah penyakit pembengkakan karena pembuluh darahnya kemasukan udara.
9.Pneumonia, adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus atau bakteri pada alveolus yang menyebabkan terjadinya radang paru-paru.
10.Wajah adenoid (kesan wajah bodoh), disebabkan adanya penyempitan saluran napas karena pembengkakan kelenjar limfa atau polip, pembengkakan di tekak atau amandel.
11.Kanker paru-paru, mempengaruhi pertukaran gas di paru-paru. Kanker paru-paru dapat menjalar ke seluruh tubuh. Kanker paru-paru sangat berhubungan dengan aktivitas yang sering merokok. Perokok pasif juga dapat menderita kanker paru-paru. Penyebab lainnya yang dapat menimbulkan kanker paru-paru adalah penderita menghirup debu asbes, radiasi ionasi, produk petroleum, dan kromium.
SUMBER : http://poetoegauliptek.multiply.com/journal/item/2
Yang Sering Berkunjung
Cari Blog Ini
Entri Populer
-
DATA CENTER Definisi Data Center ΓΌ . . . komponen penting dari infrastruktur yang mendukung Internet dan perdagangan digital Juga sek...
-
Oleh : TJUK SUDARSONO Instruktur Transportasi Udara & Praktisi Penerbangan Memahami pentingnya Emergency Operation Center (EOC) atau Pus...
-
RAMUAN VIRAL "Rahasia Dibalik Konten Viral" Saya akan beritahu Anda sebuah "rahasia"... Rahasia bagaiman...
-
TAK ada pesta dalam pernikahannya. Tak pula ada orang tua, keluarga, atau kerabat yang menyaksikan momen sakral itu. Hanya ada mereka ber...
-
ElasticSearch merupakan search engine full-text yang bisa diakses melalui RESTful API. Search engine ini berorientasi dokumen (hampir sep...
-
Identifikasi dan analisa Hazard , serta penilaian dari resiko yang akan ditimbulkan oleh Hazard tersebut, merupakan suatu metoda efektif d...
-
Diamabil dari bukunya Prof Rhenald Kasali yang judul nya DISRUPTION ada yang menarik untuk di ketahui disebutkan bahwa Akibat serangan d...
-
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN dari sisi BANDAR UDARA Ditulis oleh DR.H.K.Martono SH LLM Senin, 19 Januari 2009 15:...
-
Sebelum nya kita kenalan dulu apa itu elasticsearch, elasticsearch adalah search engine full-text yang bisa diakses melalui RESTful API. E...
-
Soal soal psikotes ini saya dapat dari beberapa situs gratis, jadi yang mau download silahkan saja. Soal psikotes ini saya publish setetalah...
Kamis, 25 Juni 2009
Senin, 22 Juni 2009
Batuk lebih dari 2 bulan = TBC ?
Ayah saya berusia 65 tahun, sudah 2 bulan belakangan ini batuk terus menerus dan kadangkala disertai dahak kehijauan. Di malam hari, ia mengalami demam dan berkeringat. Setelah mencoba berbagai obat batuk yang dapat dibeli bebas dan tidak ada perubahan, kami membawanya ke dokter. Oleh dokter tersebut ayah saya diberi obat beberapa macam, namun juga diminta untuk melakukan pemeriksaan roentgen dada, dan pemeriksaan dahak. Setelah di-roentgen, oleh dokter ahli radiologi dituliskan kesimpulan “KP duplex aktif”. Apakah yang dimaksud dengan istilah tersebut? Bagaimana ia dapat tertular ? Apakah pemeriksaan dahak masih perlu ia lakukan ?
Leonardus B
Kebayoran Baru
Bpk Leonardus, gejala yang dialami oleh ayah anda mengarah pada infeksi Tuberkulosa (TB) paru-paru. Ini juga sesuai kesimpulan hasil rontgen, yaitu “KP Duplex aktif”. Istilah tersebut kerap digunakan ahli radiologi dalam menyatakan gambaran tuberkulosa paru. ‘KP’ adalah singkatan dari Koch Pulmonum. ‘Koch’ berasal dari ‘Robert Koch’, penemu kuman TB paru di abad 19. ‘Pulmonum’ berasal dari kata ‘pulmo’, yang artinya paru-paru dalam istilah kedokteran. ‘Duplex’ berarti keduanya.
Gejala TB paru umumnya berupa batuk selama lebih dari 3 minggu, kadang disertai sesak napas dan nyeri dada. Selain itu badan terasa lemas, nafsu makan turun, berat badan turun, demam, dan berkeringat di malam hari. Namun ada kalanya infeksi tidak disertai gejala tersebut, karenanya TB paru kerap dijuluki ‘the great imitator’. Dalam menetapkan diagnosa TB paru, selain dari gejala dan tanda yang dialami, diperlukan pula pemeriksaan radiologi (roentgen), laboratorium darah, dan juga dahak. Walau sangat sederhana, pemeriksaan dahak ini merupakan sarana diagnostik yang paling penting dan baku.
TB paru menular melalui udara (airborne), yaitu melalui droplet (butiran halus percikan dahak) yang dikeluarkan penderita saat bersin, atau batuk, yang kemudian terhirup orang lain. Pernah dilaporkan penularan dari ibu hamil ke bayinya yang sedang dalam kandungan, namun ini sangat langka. Indonesia adalah negara dengan penderita TB terbanyak nomor 3 di dunia, dan penyakit ini dialami semua kalangan sosial ekonomi. Bahkan dikatakan hampir semua orang yang tinggal di kota besar, seperti Jakarta, sudah pernah terpapar kuman TB. Akan tetapi, tidak semua yang terpapar akan menderita penyakit ini. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi, di antaranya daya tahan tubuh dan riwayat imunisasi.
Yang penting diingat, TB paru adalah penyakit yang dapat disembuhkan secara total, asalkan mendapatkan pengobatan secara dini, tepat dan benar. Pengobatan berlangsung selama 6 sampai 9 bulan. Setelah menjalani pengobatan selama 2-4 minggu, umumnya penyakit sudah tidak menular lagi.
Dr.Martin Leman, DTM&H
(Dipl. Tropical Medicine and Hygiene)
martin@leman.or.id
Leonardus B
Kebayoran Baru
Bpk Leonardus, gejala yang dialami oleh ayah anda mengarah pada infeksi Tuberkulosa (TB) paru-paru. Ini juga sesuai kesimpulan hasil rontgen, yaitu “KP Duplex aktif”. Istilah tersebut kerap digunakan ahli radiologi dalam menyatakan gambaran tuberkulosa paru. ‘KP’ adalah singkatan dari Koch Pulmonum. ‘Koch’ berasal dari ‘Robert Koch’, penemu kuman TB paru di abad 19. ‘Pulmonum’ berasal dari kata ‘pulmo’, yang artinya paru-paru dalam istilah kedokteran. ‘Duplex’ berarti keduanya.
Gejala TB paru umumnya berupa batuk selama lebih dari 3 minggu, kadang disertai sesak napas dan nyeri dada. Selain itu badan terasa lemas, nafsu makan turun, berat badan turun, demam, dan berkeringat di malam hari. Namun ada kalanya infeksi tidak disertai gejala tersebut, karenanya TB paru kerap dijuluki ‘the great imitator’. Dalam menetapkan diagnosa TB paru, selain dari gejala dan tanda yang dialami, diperlukan pula pemeriksaan radiologi (roentgen), laboratorium darah, dan juga dahak. Walau sangat sederhana, pemeriksaan dahak ini merupakan sarana diagnostik yang paling penting dan baku.
TB paru menular melalui udara (airborne), yaitu melalui droplet (butiran halus percikan dahak) yang dikeluarkan penderita saat bersin, atau batuk, yang kemudian terhirup orang lain. Pernah dilaporkan penularan dari ibu hamil ke bayinya yang sedang dalam kandungan, namun ini sangat langka. Indonesia adalah negara dengan penderita TB terbanyak nomor 3 di dunia, dan penyakit ini dialami semua kalangan sosial ekonomi. Bahkan dikatakan hampir semua orang yang tinggal di kota besar, seperti Jakarta, sudah pernah terpapar kuman TB. Akan tetapi, tidak semua yang terpapar akan menderita penyakit ini. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi, di antaranya daya tahan tubuh dan riwayat imunisasi.
Yang penting diingat, TB paru adalah penyakit yang dapat disembuhkan secara total, asalkan mendapatkan pengobatan secara dini, tepat dan benar. Pengobatan berlangsung selama 6 sampai 9 bulan. Setelah menjalani pengobatan selama 2-4 minggu, umumnya penyakit sudah tidak menular lagi.
Dr.Martin Leman, DTM&H
(Dipl. Tropical Medicine and Hygiene)
martin@leman.or.id
TB Paru
Pengertian
TB Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman menyerang Paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain (Dep Kes, 2003). Kuman TB berbentuk batang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pewarnaan yang disebut pula Basil Tahan Asam (BTA). TB Paru adalah penyakit infeksi pada Paru yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis, yaitu bakteri tahan asam (Suriadi, 2001). TB Paru adalah infeksi penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, suatu basil tahan asam yang ditularkan melalui udara (Asih, 2004).
Etiologi
Menurut Suriadi (2001) penyebab dari TB Paru adalah : 1) Mycobacterium tuberculosis. 2) Mycobacterium bovis
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis : a) Herediter: resistensi seseorang terhadap infeksi kemungkinan diturunkan secara genetik. b) Jenis kelamin: pada akhir masa kanak-kanak dan remaja, angka kematian dan kesakitan lebih banyak terjadi pada anak perempuan. c) Usia : pada masa bayi kemungkinan terinfeksi sangat tinggi. d) Pada masa puber dan remaja dimana masa pertumbuhan yang cepat, kemungkinan infeksi cukup tingggi karena diit yang tidak adekuat. e) Keadaan stress: situasi yang penuh stress (injury atau penyakit, kurang nutrisi, stress emosional, kelelahan yang kronik) f) Meningkatnya sekresi steroid adrenal yang menekan reaksi inflamasi dan memudahkan untuk penyebarluasan infeksi. g) Anak yang mendapat terapi kortikosteroid kemungkinan terinfeksi lebih mudah. h) Nutrisi ; status nutrisi kurang i) Infeksi berulang : HIV, Measles, pertusis. j) Tidak mematuhi aturan pengobatan.
Patofisiologi
Sumber penularan TB Paru adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk/bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan hidup di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan kemudian menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian tubuh lain (Dep.Kes, 2003).
Riwayat terjadinya TB paru dibedakan menjadi 2 (Dep.Kes, 2003) : 1) Infeksi Primer, Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB Paru. Droplet yang terhirup ukurannya sangat kecil, sehingga dapat melewati mukosilier bronkus, dan terus berjalan hingga sampai di alveolus, menurut dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB Paru berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri di paru, yang mengakibatkan peradangan pada paru, dan ini disebut komplek primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan komplek primer adalah sekitar 4-6 minggu. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB Paru. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persisten atau dormant (tidur), kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita TB Paru. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. 2) Infeksi pasca primer (Post Primary TB), TB Paru pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi buruk. Ciri khas dari TB Paru pasca primer adalah kerusakan Paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura. Tanpa pengobatan setelah 5 tahun, 50 % dari penderita TB Paru akan meninggal, 25 % akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi dan 25 % sebagai kasus kronik yang tetap menular.
Manifestasi Klinik Menurut Dep.Kes( 2003),
manifestasi klinik TB Paru dibagi :
1. Gejala Umum: Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Pada TB Paru anak terdapat pembesaran kelenjar limfe superfisialis. 2. Gejala lain yang sering dijumpai: a) Dahak bercampur darah. b) Batuk darah c) Sesak nafas dan rasa nyeri dada d) Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan. Gejala-gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit Paru selain TB Paru. Oleh karena itu setiap orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala tersebut diatas, harus dianggap sebagi seorang “suspek TB Paru” atau tersangka penderita TB Paru, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
Penemuan Penderita TB Paru
Menurut Dep.Kes (2003), penemuan penderita TB Paru dibedakan menjadi 2: 1. Pada orang dewasa: Penemuan TB Paru dilakukan secara pasif, artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif bila sedikitnya dua dari tiga spesimen BTA hasilnya positif. 2. Pada anak-anak: Diagnosis paling tepat adalah dengan ditemukannya kuman TB dari bahan yang diambil dari penderita, misalnya dahak, bilasan lambung, dan biopsi. Sebagian besar diagnosis TB anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran foto rontgen dada dan uji tuberkulin. Seorang anak harus dicurigai menderita TB Paru kalau mempunyai sejarah kontak erat/serumah dengan penderita TB Paru BTA positif, terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG (dalam 3-7 hari) dan terdapat gejala umum TB paru yaitu batuk lebih dari 2 minggu.
Klasifikasi TB Paru Menurut Dep.Kes (2003), klasifikasi TB Paru dibedakan atas : 1) Berdasarkan organ yang terinvasi: a) TB Paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi dalam Tuberkulosis Paru BTA positif dan BTA negatif. b) TB ekstra paru yaitu tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing dan alat kelamin. TB ekstra paru dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya yaitu : TB ekstra paru ringan yang menyerang kelenjar limfe, pleura, tulang(kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal; dan TB ekstra paru berat seperti meningitis, pericarditis, peritonitis, TB tulang belakang, TB saluran kencing dan alat kelamin. 2) Berdasarkan tipe penderita: Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita : a) Kasus baru : penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) kurang dari satu bulan. b) Kambuh (relaps) adalah penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali berobat dengan hasil pemeriksaan BTA positif. c) Pindahan (transfer in) yaitu penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah. d) Kasus berobat setelah lalai (default/drop out) adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan atau lebih dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
Komplikasi Menurut Dep.Kes (2003) komplikasi yang sering terjadi pada penderita TB Paru stadium lanjut: 1) Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas. 2) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial. 3) Bronkiectasis dan fribosis pada Paru. 4) Pneumotorak spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan Paru. 5) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya. 6) Insufisiensi Kardio Pulmoner
Penatalaksanaan
Menurut Dep.Kes (2003) tujuan pengobatan TB Paru adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan tingkat penularan. Salah satu komponen dalam DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung dan untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pemberian paduan OAT didasarkan pada klasifikasi TB Paru. Prinsip pengobatan TB Paru adalah obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis (Isoniasid, Rifampisin, Pirasinamid, Streptomisin, Etambutol) dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB Paru BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadi kekambuhan. Pada anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan penderita TB Paru BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan. Bila anak mempunyai gejala seperti TB Paru maka dilakukan pemeriksaan seperti alur TB Paru anak dan bila tidak ada gejala, sebagai pencegahan diberikan Izoniasid 5 mg per kg berat badan perhari selama enam bulan. Pada keadaan khusus (adanya penyakit penyerta, kehamilan, menyusui) pemberian pengobatan dapat dimodifikasi sesuai dengan kondisi khusus tersebut (Dep.Kes, 2003) misalnya : 1) Wanita hamil: Pinsip pengobatan pada wanita hamil tidak berbeda dengan orang dewasa. Semua jenis OAT aman untuk wanita hamil kecuali Streptomycin, karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier plasenta yang akan mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang dilahirkan. 2) Ibu menyusui: Pada prinsipnya pengobatan TB Paru tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi sesuai dengan berat badannya. 3) Wanita pengguna kontrasepsi: Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Penderita TB Paru seyogyanya menggunakan kontrasepsi non hormonal. 4) Penderita TB Paru dengan kelainan hati kronik: Sebelum pengobatan TB, penderita dianjurkan untuk pemeriksaan faal hati. Apabila SGOT dan SGPT meningkat 3 kali, OAT harus dihentikan. Apabila peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan diteruskan dengan pengawasan ketat. Penderita kelainan hati, Pirazinamid tidak boleh diberikan. 5) Penderita TB Paru dengan Hepatitis Akut: Pemberian OAT ditunda sampai Hepatitis Akut mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan TB Paru sangat diperlukan, dapat diberikan Streptomycin dan Ethambutol maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampicin dan Isoniasid selama 6 bulan. 6) Penderita TB Paru dengan gangguan ginjal: Dosis yang paling aman adalah 2 RHZ/6HR. apabila sangat diperlukan, Etambutol dan Streptomicin tetap dapat diberikan dengan pengawasan fungsi ginjal. 7) Penderita TB paru dengan Diabetes Mellitus: Dalam keadaan ini, diabetesnya harus dikontrol. Penggunaan Rifampicin akan mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes sehingga dosisnya perlu ditingkatkan. Penggunaan Etambutol pada penderita Diabetes harus diperhatikan karena mempunyai komplikasi terhadap mata.
Penggunaan OAT mempunyai beberapa efek samping diantaranya a. Rifampicin : tidak nafsu makan, mual, sakit perut, warna kemerahan pada air seni, purpura dan syok (Dep.Kes, 2003), sindrom flu, hepatotoksik (Soeparman, 1990) b. Pirasinamid : nyeri sendi, hiperurisemia, (Soeparman, 1990) c. INH : kesemutan sampai dengan rasa terbakar di kaki (Dep.Kes, 2003), neuropati perifer, hepatotoksik (Soeparman, 1990). d. Streptomisin : tuli, gangguan keseimbangan (Dep.Kes, 2003), nefrotoksik dan gangguan Nervus VIII (Soeparman, 1990) e. Ethambutol : gangguan penglihatan, nefrotoksik, skinrash/dermatitis (Soeparman, 1990). f. Etionamid : hepatotoksik, gangguan pencernaan (Soeparman, 1990)
Hampir semua OAT memberikan efek samping gatal dan kemerahan, ikhterus tanpa penyebab lain, bingung dan muntah-muntah (Dep.Kes, 2003), serta bersifat hepatotoksik atau meracuni hati (Soeparman, 1990) Menurut Suriadi (2001) penatalaksanaan terapeutik TB Paru meliputi nutrisi adekuat, kemoterapi, pembedahan dan pencegahan. Menurut Soeparman (1990), indikasi terapi bedah saat ini adalah penderita sputum BTA tetap positif (persisten) setelah pengobatan diulangi dan penderita batuk darah masif atau berulang.
TB Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman menyerang Paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain (Dep Kes, 2003). Kuman TB berbentuk batang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pewarnaan yang disebut pula Basil Tahan Asam (BTA). TB Paru adalah penyakit infeksi pada Paru yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis, yaitu bakteri tahan asam (Suriadi, 2001). TB Paru adalah infeksi penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, suatu basil tahan asam yang ditularkan melalui udara (Asih, 2004).
Etiologi
Menurut Suriadi (2001) penyebab dari TB Paru adalah : 1) Mycobacterium tuberculosis. 2) Mycobacterium bovis
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis : a) Herediter: resistensi seseorang terhadap infeksi kemungkinan diturunkan secara genetik. b) Jenis kelamin: pada akhir masa kanak-kanak dan remaja, angka kematian dan kesakitan lebih banyak terjadi pada anak perempuan. c) Usia : pada masa bayi kemungkinan terinfeksi sangat tinggi. d) Pada masa puber dan remaja dimana masa pertumbuhan yang cepat, kemungkinan infeksi cukup tingggi karena diit yang tidak adekuat. e) Keadaan stress: situasi yang penuh stress (injury atau penyakit, kurang nutrisi, stress emosional, kelelahan yang kronik) f) Meningkatnya sekresi steroid adrenal yang menekan reaksi inflamasi dan memudahkan untuk penyebarluasan infeksi. g) Anak yang mendapat terapi kortikosteroid kemungkinan terinfeksi lebih mudah. h) Nutrisi ; status nutrisi kurang i) Infeksi berulang : HIV, Measles, pertusis. j) Tidak mematuhi aturan pengobatan.
Patofisiologi
Sumber penularan TB Paru adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk/bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan hidup di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan kemudian menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian tubuh lain (Dep.Kes, 2003).
Riwayat terjadinya TB paru dibedakan menjadi 2 (Dep.Kes, 2003) : 1) Infeksi Primer, Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB Paru. Droplet yang terhirup ukurannya sangat kecil, sehingga dapat melewati mukosilier bronkus, dan terus berjalan hingga sampai di alveolus, menurut dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB Paru berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri di paru, yang mengakibatkan peradangan pada paru, dan ini disebut komplek primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan komplek primer adalah sekitar 4-6 minggu. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB Paru. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persisten atau dormant (tidur), kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita TB Paru. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. 2) Infeksi pasca primer (Post Primary TB), TB Paru pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi buruk. Ciri khas dari TB Paru pasca primer adalah kerusakan Paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura. Tanpa pengobatan setelah 5 tahun, 50 % dari penderita TB Paru akan meninggal, 25 % akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi dan 25 % sebagai kasus kronik yang tetap menular.
Manifestasi Klinik Menurut Dep.Kes( 2003),
manifestasi klinik TB Paru dibagi :
1. Gejala Umum: Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Pada TB Paru anak terdapat pembesaran kelenjar limfe superfisialis. 2. Gejala lain yang sering dijumpai: a) Dahak bercampur darah. b) Batuk darah c) Sesak nafas dan rasa nyeri dada d) Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan. Gejala-gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit Paru selain TB Paru. Oleh karena itu setiap orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala tersebut diatas, harus dianggap sebagi seorang “suspek TB Paru” atau tersangka penderita TB Paru, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
Penemuan Penderita TB Paru
Menurut Dep.Kes (2003), penemuan penderita TB Paru dibedakan menjadi 2: 1. Pada orang dewasa: Penemuan TB Paru dilakukan secara pasif, artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif bila sedikitnya dua dari tiga spesimen BTA hasilnya positif. 2. Pada anak-anak: Diagnosis paling tepat adalah dengan ditemukannya kuman TB dari bahan yang diambil dari penderita, misalnya dahak, bilasan lambung, dan biopsi. Sebagian besar diagnosis TB anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran foto rontgen dada dan uji tuberkulin. Seorang anak harus dicurigai menderita TB Paru kalau mempunyai sejarah kontak erat/serumah dengan penderita TB Paru BTA positif, terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG (dalam 3-7 hari) dan terdapat gejala umum TB paru yaitu batuk lebih dari 2 minggu.
Klasifikasi TB Paru Menurut Dep.Kes (2003), klasifikasi TB Paru dibedakan atas : 1) Berdasarkan organ yang terinvasi: a) TB Paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi dalam Tuberkulosis Paru BTA positif dan BTA negatif. b) TB ekstra paru yaitu tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing dan alat kelamin. TB ekstra paru dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya yaitu : TB ekstra paru ringan yang menyerang kelenjar limfe, pleura, tulang(kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal; dan TB ekstra paru berat seperti meningitis, pericarditis, peritonitis, TB tulang belakang, TB saluran kencing dan alat kelamin. 2) Berdasarkan tipe penderita: Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita : a) Kasus baru : penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) kurang dari satu bulan. b) Kambuh (relaps) adalah penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali berobat dengan hasil pemeriksaan BTA positif. c) Pindahan (transfer in) yaitu penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah. d) Kasus berobat setelah lalai (default/drop out) adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan atau lebih dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
Komplikasi Menurut Dep.Kes (2003) komplikasi yang sering terjadi pada penderita TB Paru stadium lanjut: 1) Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas. 2) Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial. 3) Bronkiectasis dan fribosis pada Paru. 4) Pneumotorak spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan Paru. 5) Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya. 6) Insufisiensi Kardio Pulmoner
Penatalaksanaan
Menurut Dep.Kes (2003) tujuan pengobatan TB Paru adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan tingkat penularan. Salah satu komponen dalam DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung dan untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pemberian paduan OAT didasarkan pada klasifikasi TB Paru. Prinsip pengobatan TB Paru adalah obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis (Isoniasid, Rifampisin, Pirasinamid, Streptomisin, Etambutol) dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB Paru BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadi kekambuhan. Pada anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan penderita TB Paru BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan. Bila anak mempunyai gejala seperti TB Paru maka dilakukan pemeriksaan seperti alur TB Paru anak dan bila tidak ada gejala, sebagai pencegahan diberikan Izoniasid 5 mg per kg berat badan perhari selama enam bulan. Pada keadaan khusus (adanya penyakit penyerta, kehamilan, menyusui) pemberian pengobatan dapat dimodifikasi sesuai dengan kondisi khusus tersebut (Dep.Kes, 2003) misalnya : 1) Wanita hamil: Pinsip pengobatan pada wanita hamil tidak berbeda dengan orang dewasa. Semua jenis OAT aman untuk wanita hamil kecuali Streptomycin, karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier plasenta yang akan mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang dilahirkan. 2) Ibu menyusui: Pada prinsipnya pengobatan TB Paru tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi sesuai dengan berat badannya. 3) Wanita pengguna kontrasepsi: Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Penderita TB Paru seyogyanya menggunakan kontrasepsi non hormonal. 4) Penderita TB Paru dengan kelainan hati kronik: Sebelum pengobatan TB, penderita dianjurkan untuk pemeriksaan faal hati. Apabila SGOT dan SGPT meningkat 3 kali, OAT harus dihentikan. Apabila peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan diteruskan dengan pengawasan ketat. Penderita kelainan hati, Pirazinamid tidak boleh diberikan. 5) Penderita TB Paru dengan Hepatitis Akut: Pemberian OAT ditunda sampai Hepatitis Akut mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan TB Paru sangat diperlukan, dapat diberikan Streptomycin dan Ethambutol maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampicin dan Isoniasid selama 6 bulan. 6) Penderita TB Paru dengan gangguan ginjal: Dosis yang paling aman adalah 2 RHZ/6HR. apabila sangat diperlukan, Etambutol dan Streptomicin tetap dapat diberikan dengan pengawasan fungsi ginjal. 7) Penderita TB paru dengan Diabetes Mellitus: Dalam keadaan ini, diabetesnya harus dikontrol. Penggunaan Rifampicin akan mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes sehingga dosisnya perlu ditingkatkan. Penggunaan Etambutol pada penderita Diabetes harus diperhatikan karena mempunyai komplikasi terhadap mata.
Penggunaan OAT mempunyai beberapa efek samping diantaranya a. Rifampicin : tidak nafsu makan, mual, sakit perut, warna kemerahan pada air seni, purpura dan syok (Dep.Kes, 2003), sindrom flu, hepatotoksik (Soeparman, 1990) b. Pirasinamid : nyeri sendi, hiperurisemia, (Soeparman, 1990) c. INH : kesemutan sampai dengan rasa terbakar di kaki (Dep.Kes, 2003), neuropati perifer, hepatotoksik (Soeparman, 1990). d. Streptomisin : tuli, gangguan keseimbangan (Dep.Kes, 2003), nefrotoksik dan gangguan Nervus VIII (Soeparman, 1990) e. Ethambutol : gangguan penglihatan, nefrotoksik, skinrash/dermatitis (Soeparman, 1990). f. Etionamid : hepatotoksik, gangguan pencernaan (Soeparman, 1990)
Hampir semua OAT memberikan efek samping gatal dan kemerahan, ikhterus tanpa penyebab lain, bingung dan muntah-muntah (Dep.Kes, 2003), serta bersifat hepatotoksik atau meracuni hati (Soeparman, 1990) Menurut Suriadi (2001) penatalaksanaan terapeutik TB Paru meliputi nutrisi adekuat, kemoterapi, pembedahan dan pencegahan. Menurut Soeparman (1990), indikasi terapi bedah saat ini adalah penderita sputum BTA tetap positif (persisten) setelah pengobatan diulangi dan penderita batuk darah masif atau berulang.
Selasa, 16 Juni 2009
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN dari sisi BANDAR UDARA
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN dari sisi BANDAR UDARA
Ditulis oleh DR.H.K.Martono SH LLM
Senin, 19 Januari 2009 15:20
Indeks Artikel
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN dari sisi BANDAR UDARA
1.Pendahuluan
2.Pemisahan Regulator Dengan Operator
4.Fasilitas Bandar Udara
5.Personel Bandar Udara
6.Kegiatan Pemerintahan dan Otoritas Bandar Udara
7. Pengusahaan di Bandar Udara
8. Pelayanan dan Fasilitas Khusus
9. Tanggung Jawab dan Ganti Kerugian
10. Tarif Jasa Kebandarudaraan
11.Bandar Udara Khusus
12.Tempat Pendaratan dan Lepas Landas Helikopter
13.Bandar Udara Internasional
14.Penggunaan Bersama Bandar Udara dan Pangkalan Udara
Semua Halaman
Oleh
DR.H.K.Martono SH LLM 1
1.Pendahuluan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan2 disahkan dalam rapat paripurna DPR-RI pada tanggal 17 Desember 2008 dan ditanda tangani pada tanggal 12 Januari 2009. UURI No.1/2009 tersebut sangat menjanjikan terhadap pertumbuhan transportasi udara di Indonesia, karena sebagai dasar hukum telah mengatur secara komprehensif:
pengadaan pesawat udara sebagaimana terdapat dalam konvensi Cape Town 2001,
prinsip ekstra teritorial,
kedaulatan atas wilayah udara Indonesia,
pelanggaran wilayah kedaulatan,
produksi pesawat udara,
pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara,
kelaikudaraan,
pengoperasian pesawat udara,
keselamatan penerbangan,
keamanan penerbangan di darat maupun dalam pesawat udara,
asuransi pesawat udara,
independensi investigasi kecelakaan pesawat udara,
pembentukan majelis profesi penerbangan,
lembaga penyelenggara pelayanan umum yang sering disebut badan pelayan umum (BLU),
berbagai jenis angkutan udara baik niaga dalam negeri maupun luar negeri,
angkutan udara bukan niaga (general aviation),
perlindungan pengguna jasa transportasi udara,
hak-hak dan kewajiban pengguna jasa transportasi udara,
persyaratan perusahaan penerbangan baik manajemen, operasional, teknologi maupun permodalan, mayoritas saham (single majority), jaminan bank (bank guarantee), kepemilikan dan penguasaan pesawat udara, komponen tarif, biaya tambahan (surcharge), pelayanan bagi penyandang cacat, pengangkutan barang-barang berbahaya (dangerous goods), ekspedisi dan keagenan, tanggung jawab pengangkut, konsep tanggung jawab pengangkut, asuransi tanggung jawab pengangkut, tanggung jawab pengangkut terhadap pihak ketiga (third parties liability),
tatanan kebandarudaraan baik lokasi maupun persyaratannya, obstacles, perubahan iklim yang menimbulkan panas bumi,
sumber daya manusia baik di bidang operasi penerbangan, teknisi bandar udara otoritas bandar udara (airport authority), pelayanan bandar udara,
navigasi penerbangan,
fasilitas navigasi penerbangan,
keamanan penerbangan,
lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan (single air service provider),
penegakan hukum,
penerapan sanksi administratif yang selama ini tidak diatur,
budaya keselamatan penerbangan,
penanggulangan tindakan melawan hukum dan berbagai ketentuan baru guna mendukung keselamatan transportasi udara nasional maupun internasional,
semuanya dimaksudkan sebagai dasar hukum tindak lanjut temuan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) beberapa waktu yang lalu. Secara filosofis penulis berpendapat bahwa jiwa dari UURI No.1/2009 bermaksud memisahkan regulator dengan operator sehingga tugas dan tanggung jawab masing-masing jelas, tidak tumpang tindih, transparan. Secara umum UURI No.1/2009 ini mengalami perubahan yang signifikan, dibandingkan dengan Undang-undang sebelumnya, sebab konsep semula hanya 103 pasal dalam perkembangannya membengkak menjadi 466 pasal. Artikel ini bermaksud menguraikan UURI No.1/2009 dari sisi bandar udara khususnya mengenai pengoperasian, fasilitas, personel bandar udara, kegiatan pemerintahan dan otoritas bandar udara, pengusahaan di bandar udara, pelayanan dan fasilitas khusus, tanggung jawab dan ganti kerugian, tarif jasa kebandarudaraan, bandar udara khusus, tempat pendaratan dan lepas landas helikopter, bandar udara internasional, dan penggunaan bersama bandar udara dan pangkalan udara, namun demikian sebelum menguraikan hal tersebut, lebih dahulu dijelaskan pemisahan antara regulator dengan operator sebagai berikut.
2.Pemisahan Regulator Dengan Operator
Penulis berpendapat tampaknya suasana kebatinan UURI No.1/2009 adalah pemisahan antara peran regulator dan operator. Dengan pemisahan tersebut masing-masing mempunyai peran yang jelas, terpisah, tidak tumpang tindih, transparan. Sesuai dengan ketentuan UUD 1945, semua kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bilamana boleh meminjam istilah dalam UURI No.5/19603, perkataan “menguasai” berarti negara berwenang “mengatur” penggunaan atau kemanfaatan “kegiatan yang menguasai orang banyak” Berdasarkan kewenangan tersebut, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, kewenangan tersebut dilakukan oleh pemerintah, untuk dan atas nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NKRI yang dalam hal ini dilakukan oleh pemerintah, memisah-misahkan kegiatan-kegiatan yang menguasai hidup orang banyak yang dilakukan oleh regulator atau oleh operator, agar regulator tidak bertindak sebagai operator dan sebaliknya operator bertindak sebagai regulator. Kegiatan-kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetapi tidak menguntungkan, maka harus dilaksanakan oleh pemerintah dalam hal ini unit penyelenggara pemerintah yang merupakan kewajiban pelayanan umum (public service obligation), sedangan kegiatan-kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetapi menguntungkan, maka diserahkan kepada operator baik milik negara maupun swasta yang merupakan pelayanan keikut sertaan swasta (private service participant) dengan memungut biaya dari penerima jasa yang diterima, sedangkan kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak yang dapat membiayai diri (cost recovery) dapat diselenggarakan oleh badan tertentu (operator) tanpa harus membebani pemerintah, sehingga beban pemerintah terhadap kewajiban menyelenggarakan pelayanan umum ( public service obligation) dapat dikurangi oleh badan tersebut.
Secara historis, di bidang penerbangan, pemikiran pemisahan peran regulator dengan operator telah timbul dalam tahun 1991, saat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan disiapkan. Pada saat itu, pemerintah bermaksud agar swasta berperan dalam pembangunan bandar udara, sehingga tidak membebani keuangan negara, tetapi saat itu ketua IGGI Drs Pronk mengingatkan agar bandar udara tidak diserahkan kepada swasta, akibat peringatan tersebut rapat di Departemen Keuangan pada saat itu mengarahkan agar memperhatikan peringatan ketua IGGI, Drs Pronk, karena itu penyelenggaraan bandar udara tetap dilakukan oleh pemeritah, karena itu lahirlah pasal 26 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan yang pada prinsipnya menyatakan bahwa penyelenggaraan bandar udara untuk umum dan pelayanan navigasi penerbangan dilakukan oleh pemerintah yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada badan usaha milik negara yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penjelasannya dikatakan bahwa yang dimaksudkan penyelenggara bandar udara meliputi kegiatan perencanaan, pembangunan, pengoperasian, perawatan dan pengawasan serta pengendaliannya.
Dalam pasal yang sama juga dikatakan bahwa badan hukum Indonesia dapat diikut sertakan menyelenggarakan bandar udara umum, namun demikian harus kerja sama dengan badan usaha milik negara yang bersangkutan. Badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia dapat melakukan pengadaan, pengoperasian dan perawatan fasilitas penunjang bandar udara yang diperlukan untuk memperlancar arus lalu lintas penumpang, kargo, pos di bandar udara seperti usaha-usaha jasa boga, toko, gudang, hanggar, parkir kendaraan dan jasa perawatan pada umumnya, karena itu bilamana suasana kebatinan UURI No.1/2009 tersebut bermaksud memisahkan peran regulator dengan operator sebenarnya hal yang wajar saja.
Secara filosofis, bilamana menjadi penguasa (biasanya regulator), jangan menjadi pengusaha (biasanya operator) dan sebaliknya, namun demikian di dalam tahun 1960’an pemerintah tidak mempunyai dana yang cukup, karenanya saat itu dibentuk Perusahaan Negara yang disingkat “PN”. Pada saat itu “Perusahaan Negara” terdiri atas 3 (tiga) macam masing-masing “Perusahaan Jawatan (PERJAN)” yang berfungsi memberi pelayanan 75% public service obligation (PSO), dan 25% mencari keuntungan (profit-making), “Perusahaan Umum (PERUM) yang memberi pelayan masing-masing 50% public service obligation (PSO) dan mencari keuntungan (profit-making), dan “Peseroan Terbatas (PT) yang memberi pelayanan atas dasar private service participant 100% untuk mencari keuntungan. Dalam perkembangannya semua Badan Usaha Milik Negara berbentuk PT (Pesero) yang mempunyai fungsi 100% memberi pelayanan dengan memungut keuntungan dan akhir-akhir ini lahir bentuk-bentuk badan hukum lainnya misalnya Badan Hukum Milik Negara (BHMN), Badan Layanan Umum (BLU) dan Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang sedang diributkan, di samping Badan Usaha Milik Negera (BUMN) yang sudah ada.
Sebagaimana disebutkan di atas, dari aspek yuridis, berdasarkan ketentuan Undang-undang Dasar 1945 mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak “dikuasai” oleh negara. Bilamana boleh meminjam pengertian Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Pengaturan Agraria, maka perkataan “menguasai” berarti mengatur penyelenggaraan transportasi udara beserta penunjangnya. Berdasarkan pengertian tersebut pemerintah dalam kapasitasnya sebagai regulator membedakan ciri-ciri kewajiban memberi layanan umum (public service obligation) adalah
(a) kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak,
(b) kegiatan tersebut tidak menguntungkan,
(c) kegiatan tersebut dibiayai dengan anggaran belanja dan pengeluaran negara (APBN) yang berarti uang rakyat,
(d) kegiatan tersebut tidak memungut biaya dari penerima jasa layanan,
(e) bedasarkan teori iure imperium pemberi layanan tidak bertanggung jawab dalam arti liability, tetapi bertanggung jawab dalam arti responsibility,
(f) kedudukan antara pemberi layanan dengan penerima layanan subordinat,
(g) berlaku hukum publik yang bersifat memaksa,
sedangkan operator memberi layanan swasta (private service participant) ciri-cirinya adalah
(a) kegiatan tersebut menguasai hajat hidup orang banyak,
(b) kegiatan tersebut menguntungkan,
(c) kegiatan tidak dibiayai dengan anggaran belanja dan pengeluaran negara (APBN),
(d) pemberi pelayanan boleh memungut keuntungan dari penerima layanan,
(e) pemberi pelayanan bertanggung jawab dalam arti liability dalam hal penerima layanan mengalami kerugian akibat layanan yang diberikan,
(f) kedudukan antara pemberi layanan dengan penerima layanan sama tinggi,
(g) berlaku hukum perdata yang bersifat sukarela.
Sebagaimana disebutkan di atas, dalam perkembangannya lahir lembaga baru yang biasa dikenal dengan Badan Layanan Umum (BLU). Penulis berpendapat bahwa BLU tersebut berada antara Perusahaan Jawatan (PERJAN) dengan Perseroan Terbaas (PT) pada konsep hukum tahun 1960’an yang disesuaik dan dengan tuntutan teknologi pada saat ini, karena itu kreteria BLKU adalah
(a) kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak,
(b) kegiatan tersebut tidak menguntungkan, tetapi mampu membiayai diri sendiri (cost recovery),
(c) kegiatan tersebut tidak dibiayai dengan anggaran belanja dan pengeluaran negara (APBN) yang berarti uang rakyat,
(d) kegiatan tersebut memungut biaya dari penerima jasa layanan sesuai dengan kebutuhan teknologi,
(e) bedasarkan teori iure imperium pemberi layanan tidak bertanggung jawab dalam arti liability, tetapi bertanggung jawab dalam arti responsibility,
(f) kedudukan antara pemberi layanan dengan penerima layanan subordinat,
(g) berlaku hukum publik yang bersifat memaksa.
Bilamana kriteria tersebut diterapkan dalam UURI No.1/2009, maka kreteria BLU adalah
(a) mengutamakan keselamatan penerbangan,
(b) tidak berorientasi pada keuntungan,
(c) kegiatan tersebut tidak dibiayai dengan anggaran belanja dan pengeluaran negara (APBN) yang berarti uang rakyat,
(d) biaya yang dipungut dikembalikan kepada penerima jasa pelayanan,
(e) berdasarkan teori iure imperium, pemberi pelayanan tidak bertanggung jawab dalam arti liability
(f) kedudukan antara pemberi layanan dengan penerima layanan subordinat,
(g) berlaku hukum publik yang bersifat memaksa.
Berdasarkan kriteria tersebut dapat digunakan untuk menentukan kegiatan mana yang menguasai hajat hidup orang banyak yang dapat diserahkan kepada operator berbentuk BLU dan PT sebagai pengusaha. Di dalam dunia penerbangan bilamana diteliti dengan cermat masih banyak kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh operator dalam bentuk BLU, sehingga dapat mengurangi beban pemerintah dengan prinsip bahwa mereka yang menerima layanan, merekalah yang memberi biaya layanan yang dinikmati, secara teoritis ada ketidak adilan bilamana mereka tidak menikmati jasa transportasi udara, tetapi dibebani untuk membiayai.
3.Pengoperasian Bandar Udara 4
Pengoperasian bandar udara diatur dalam Pasal 217 dan 218 UURI No.1/2009. Pasal-pasal tersebut mengatur persyaratan sertifikat bandar udara, register bandar udara beserta sanksi pelanggarannya. Menurut Pasal 217 UURI No.1/2009 tersebut setiap bandar udara yang dioperasikan wajib memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan serta ketentuan pelayanan jasa bandar udara. Bilamana bandar udara tersebut telah memenuhi keselamatan penerbangan, keamanan penerbangan dan pelayanan jasa bandar udara, maka Menteri Perhubungan akan memberikan (a) sertifikat bandar udara atau (b) register bandar udara.
Sertifikat bandar udara diberikan oleh Menteri Perhubungan untuk bandar udara dengan kapasitas pesawat udara yang lebih dari 30 (tiga puluh) tempat duduk atau dengan berat maksimum tinggal landas pesawat udara lebih dari 5.700 (lima ribu tujuh ratus) kilogram, sedangkan register bandar udara diberikan oleh Menteri Perhubungan untuk bandar udara yang melayani pesawat udara dengan kapasitas pesawat udara maksimum 30 (tiga puluh) tempat duduk atau dengan berat pesawat udara maksimum tinggal landas sampai dengan 5.700 (lima ribu tujuh ratus) kilogram.
Persyaratan untuk memperoleh sertifikat bandar udara berbeda dengan persyaratan untuk memperoleh register bandar udara. Persyaratan yang pertama, sertifikat bandar udara adalah setelah bandar udara memiliki buku pedoman pengoperasian bandar udara (aerodrome manual) yang telah memenuhi persyaratan teknis tentang
(a) personel,
(b) fasilitas,
(c) prosedur operasi bandar udara, dan
(d) sistem manajemen keselamatan operasi penerbangan,
sedangkan untuk memperoleh register bandar udara yang diberikan oleh Menteri Perhubungan, setelah bandar udara memiliki buku pedoman pengoperasian bandar udara yang memenuhi persyaratan teknis tentang
(a) personel,
(b) fasilitas, dan
(c) prosedur operasi bandar udara.
Setiap orang yang dengan sengaja mengoperasikan bandar udara tanpa memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan dipidana penjara paling lama 3(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.1000.000.000,00 (satu miliar rupiah),dalam hal menimbulkan kerugian harta benda seseorang, dipidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar), bilamana menyebabkan matinya orang, dipidana penjara paling lama 15(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar)5, sedangkan setiap orang yang mengoperasikan bandar udara tidak memenuhi ketentuan pelayanan jasa bandar udara, dikenakan sanksi administratif berupa peringatan, penurunan tarif jasa bandar udara, dan/atau pencabutan sertifikat6. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat bandar udara atau register bandar udara, dan pengenaan sanksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Perhubungan.
4.Fasilitas Bandar Udara
Fasilitas bandar udara diatur di dalam Pasal 219 sampai dengan Pasal 221 UURI No.1/2009. Setiap badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib menyediakan fasilitas bandar udara yang diberikan sertifikat fasilitas bandar udara oleh Menteri Perhubungan. Sertifikat tersebut diberikan oleh Menteri Perhubungan setelah memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan, serta pelayanan jasa bandar udara sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan. Badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib melakukan perawatan dalam jangka waktu tertentu dengan cara pengecekan, tes, varifikasi dan/atau kalibrasi fasilitas bandar udara untuk mempertahankan (sustainability) kesiapan fasilitas bandar udara7, sedangkan untuk menjaga dan meningkatkan kinerja fasilitas, prosedur, dan personelnya, badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib melakukan pelatihan penanggulangan keadaan darurat secara berkala.
Setiap badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara yang tidak menyediakan fasilitas bandar udara yang memenuhi persyaratan keselamatan penerbangan, keamanan penerbangan serta pelayanan jasa bandar udara, melakukan perawatan dalam jangka waktu tertentu dengan cara pengecekan, tes, verifikasi dan/atau kalibrasi, tidak meningkatkan kinerja fasilitas, prosedur, dan personel8, dan pengoperasian bandar udara yang tidak dilakukan oleh tenaga manajerial yang memiliki kemampuan dan kompetensi operasi dan manajerial bidang teknis dan/atgau operasi bandar udara, dikenakan sanksi administratif berupa (a) peringatan, (b) pembekuan sertifikat, dan/atau pencabutan sertifikat bandar udara9, Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian fasilitas bandar udara serta tata cara dan prosedur penggunaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan.
5.Personel Bandar Udara 10
Personel bandar udara diatur di dalam Pasal 222 sampai dengan Pasal 225 UURI No.1/2009. Dalam pasal-pasal tersebut diatur kewajiban, persyaratan personel, lisensi bandar udara yang diberikan oleh negara lain dan sanksi administratif. Menurut Pasal 222 UURI No.1/2009 setiap personel bandar udara wajib memiliki lisensi11 atau sertifikat12 kompetensi. Personel bandar udara yang terkait langsung dengan pelaksanaan pengoperasian dan/atau pemeliharaan fasilitas bandar udara13 wajib memiliki lisensi yang sah dan masih berlaku.
Lisensi tersebut diberikan oleh Menteri Perhubungan setelah memenuhi persyaratan
(a) administratif,
(b) sehat jasmani dan rohani,
(c) memiliki kompetensi di bidangnya, dan
(d) lulus ujian.
Sertifikat kompetensi di bidangnya diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah diakreditasi oleh Menter Perhubungan14
Personel bandar udara yang telah memiliki lisensi wajib
(a) melaksanakan pekerjaan sesuai dengan ketentuan di bidangnya,
(b) mempertahankan (sustainability) kemampuan yang dimiliki, dan
(c) melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala.
Personel bandar udara yang tidak memiliki lisensi atau sertifikat kompentensi dikenakan sanksi administratif berupa
(a) peringatan,
(b) pembekuan lisensi, dan
(c) pencabutan lisensi15.
Menurut Pasal 224 lisensi personel bandar udara yang diberikan oleh negara lain dinyatakan sah melalui proses pengesahan atau validasi oleh Menteri Perhubungan. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, lembaga pendidikan dan/atau pelatihan, serta pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri16
6.Kegiatan Pemerintahan dan Otoritas Bandar Udara 17
Kegiatan pemerintahan dan otoritas bandar udara18 diatur dalam Pasal 226 sampai dengan 231 UURI No.1/2009. Dalam pasal-pasal tersebut diatur kegiatan pemerintahan yang meliputi pembinaan kegiatan penerbangan, kepabeanan, keimigrasian dan kekarantinaan dan otoritas bandar udara. Menurut Pasal 226 mengatakan kegiatan pemerintahan yang meliputi pembinaan kegiatan penerbangan dilakukan oleh otoritas bandar udara, sedangkan fungsi kepabeanan, keimigrasian dan kekarantinaan tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pemerintahan di bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan19
Menurut Pasal 227 UURI No.1/2009, Menteri Perhubungan dapat membentuk satu atau beberapa otoritas bandar udara terdekat yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri. Dalam pelaksanaan tugasnya, otoritas bandar udara berkoordinasi20 dengan pemerintah daerah.
Otoritas bandar udara di samping mempunyai tugas membantu kelancaran investigasi kecelakaan pesawat udara sebagaimana, juga mempunyai tugas dan tanggung jawab
(a) menjamin keselamatan, keamanan, kelancaran dan kenyamanan di bandar udara,
(b) memastikan terlaksana dan terpenuhinya ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan, kelancaran dan kenyamanan di bandar udara,
(c) menjamin terpeliharanya pelestarian lingkungan bandar udara,
(d) menyelesaikan masalah-masalah yang dapat mengganggu kelancaran kegiatan operasional bandar udara yang dianggap tidak dapat diselesaikan oleh instansi lainnya,
(e) melaporkan kepada pimpinan tertingginya dalam hal pejabat instansi di bandar udara, melalaikan tugas dan tanggung jawabnya serta mengabaikan dan/atau tidak menjalankan kebijakan dan peraturan yang ada di bandar udara,
(f) melaporkan pelaksaan tugas dan tanggung jawabnya kepada Menteri Perhubungan.
Otoritas bandar udara yang dibentuk oleh Menteri Perhubungan tersebut mempunyai wewenang
(a) mengkoordinasikan kegiatan pemerintahan di bandar udara yang bersangkutan,
(b) mengatur, mengendalikan dan mengawasi palaksanaan ketentuan keselamatan penerbangan, keamanan penerbangan, kelancaran serta kenyamanan penerbangan di bandar udara yang bersangkutan,
(c) mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pelaksanaan pelestarian lingkungan,
(d) mengatur, mengendalikan, dan mengawasi penggunaan lahan daratan dan/atau perairan bandar udara sesuai dengan rencana induk bandar udara,
(e) mengatur, mengendalikan, dan mengawasi penggunaan kawasan keselamatan operasi penerbangan dan daerah lingkungan kerja bandar udar serta daerah lingkungan kepentingan bandar udara,
(f) mengatur, mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan standar kinerja operasional pelayanan jasa di bandar udara, dan
(g) memberikan sanksi administratif kepada badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, dan/atau badan usaha lainnya yang tidak memenuhi ketentuan keselamatan, keamanan, kelancaran serta kenyamanan penerbangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dijelaskan bahwa aparat otoritas bandar udara merupakan pegawai negeri sipil yang memiliki kompetensi di bidang penerbangan sesuai dengan standar dan kretaria yang ditetapkan Menteri Perhubungan yang lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan.
7. Pengusahaan di Bandar Udara
Pengusahaan di bandar udara diatur dalam Pasal 232 sampai dengan Pasal 238 UURI No.1/2009. Pasal-pasal tersebut mengatur jenis kegiatan pengusahaan, pelayanan jasa kebandarudaraan21 yang dilaksanakan oleh badan usaha kebandarudaraan.
Menurut Pasal 232 UURI No.1/2009, kegiatan pengusahaan bandar udara terdiri atas pelayanan jasa kebandarudaraan, dan pelayanan jasa terkait bandar udara. Yang pertama, pelayanan jasa kebandarudaraan, meliputi pelayanan jasa pesawat udara, penumpang, barang dan pos yang terdiri atas penyediaan dan/atau pengembangan (a) fasilitas untuk kegiatan pelayanan pendaratan, lepas landas, manufer, parkir dan penyimpanan pesawat udara, (b) fasilitas terminal untuk pelayanan angkutan penumpang, kargo dan pos, (c) fasilitas elektronika, listrik, air dan instalasi libah buangan, dan (d) lahan untuk bangunan, lapangan dan industri serta gedung atau bangunan yang berhubungan dengan kelancaran angkutan udara 22, sedangkan yang terakhir, pelayanan jasa terkait dengan bandar udara untuk menunjang kegiatan pelayanan operasi pesawat udara di bandar udara yang meliputi (a) penyediaan hanggar pesawat udara, (b) perbengkelan pesawat udara, (c) pergudangan, (d) katering, (e) pelayanan teknis penanganan pesawat udara di darat (ground handling), (f) pelayanan penumpang dan bagasi, serta penanganan kargo dan pos23.
Jasa terkait untuk menunjang kegiatan pelayanan penumpang dan barang terdiri atas
(a) penyediaan penginapan/hotel, transit hotel, toko dan restoran,
(b) penyimpanan kendaraan bermotor,
(c) pelayanan kesehatan,
(d) perbankkan dan/atau penukaran uang, dan
(e) tranportasi darat24,
sedangkan jasa terkait untuk memberikan nilai tambah bagi pengusahaan bandar udara terdiri atas penyediaan
(a) tempat bermain dan rekreasi, fasilitas perkantoran, fasilitas olah raga, fasilitas pendidikan dan pelatihan,
(b) pengisian bahan bakar kendaraan bermotor,
(c) periklanan25.
Pelayanan jasa kebandarudaraan berupa
(a) fasilitas untuk kegiatan pelayanan pendaratan, lepas landas, manufer, parkir dan penyimpanan pesawat udara,
(b) fasilitas terminal untuk pelayanan angkutan penumpang, kargo dan pos,
(c) fasilitas elektronika, listrik, air dan instalasi limbah buangan, dan
(d) lahan untuk bangunan, lapangan dan industri serta gedung atau bangunan yang berhubungan dengan kelancaran angkutan udara,
dapat diselenggarakan oleh
(a) badan usaha bandar udara untuk bandar udara yang diusahakan secara komersial setelah memperoleh izin dari Menteri Perhubungan atau unit penyelenggara bandar udaras untuk bandar udara yang belum diusahakan secara komersial yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada pemerintah dan/atau pemerintah daerah26.
Izin Menteri Perhubungan yang tidak dapat dipindahtangankan27 terhadap bandar udara yang diselenggarakan oleh badan usaha untuk bandar udara yang diusahakan secara komersial diberikan setelah memenuhi persyaratan administratif28, keuangan dan manajemen29, sedangkan pelayanan jasa yang terkait bandar udara yang meliputi penyediaan hanggar pesawat udara, perbengkelan pesawat udara, pergudangan, katering, pelayanan teknis penanganan pesawat udara di darat (ground handling), pelayanan penumpang dan bagasi, serta penanganan kargo dan pos30.
Jasa terkait untuk menunjang kegiatan pelayanan penumpang dan barang terdiri atas penyediaan penginapan/hotel, transit hotel, toko dan restoran, penyimpanan kendaraan bermotor, pelayanan kesehatan, perbankkan dan/atau penukaran uang, dan tranportasi darat31, jasa terkait untuk memberikan nilai tambah bagi pengusahaan bandar udara terdiri atas penyediaan tempat bermain dan rekreasi, fasilitas perkantoran, fasilitas olah raga, fasilitas pendidikan dan pelatihan, pengisian bahan bakar kendaraan bermotor, periklanan dapat diselenggarakan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia32.
Dalam pelaksanaan pelayanan jasa kebandarudaraan yang meliputi pelayanan jasa pesawat udara, penumpang, barang dan pos yang terdiri atas penyediaan dan/atau pengembangan, badan usaha kebandarudaraan dan atau unit penyelenggara bandar udara wajib
(a) memiliki sertifikat bandar udara atau register bandar udara;
(b) menyediakan fasilitas bandar udara yang laik operasi, serta memelihara kelaikan fasilitas bandar udara, personel yang mempunyai kompetensi untuk perawatan dan pengoperasian fasilitas bandar udara, prosedur pengoperasian dan perawatan fasilitas bandar udara, fasilitas kelancaran lalu lintas personel pesawat udara dan petugas operasional;
(c) menjaga dan meningkatkan keselamatan penerbangan, keamanan penerbangan, kelancaran dan kenyamanan di bandar udara, ketertiban bandar udara,
(d) memelihara kelestarian lingkungan;
(e) melakukan pengawasan dan pengendalian secara internal atas kelaikan fasilitas bandar udara, pelaksanaan prosedur perawatan dan pengoperasian fasilitas bandar udara serta kompetensi personel bandar udara;
(f) mempertahankan (sustainability) dan meningkatkan kompetensi personel yang merawat dan mengoperasikan fasilitas bandar udara; (g) memberikan pelayanan kepada pengguna jasa bandar udara sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan oleh Menteri Perhubungan dan laporan secara berkala kepada Menteri Perhubungan, otoritas bandar udara33.
Setiap orang yang melanggar ketentuan pelaksanaan pelayanan jasa kebandarudaraan yang meliputi pelayanan jasa pesawat udara, penumpang, barang dan pos yang terdiri atas penyediaan dan/atau pengembangan, dikenakan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin, dan/atau pencabutan izin34 .
Pelayanan jasa kebandarudaraan yang dilaksanakan oleh badan usaha bandar udara diselenggarakan berdasarkan konsesi dan/atau bentuk lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan diberikan oleh Menteri Perhubungan dan dituangkan dalam perjanjian35, hasil konsesi dan/atau bentuk lainnya mengenai pelayanan jasa kebandarudaraan, merupakan pendapatan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan36. Badan usaha bandar udara dapat menyelenggarakan 1(satu) atasu lebih bandar udara yang diusahakan secara komersial37
Masalah modal pengusahaan bandar udara diatur di dalam Pasal 237 UURI No.1/2009. Menurut Pasal tersebut, pengusahaan kegiatan pelayanan jasa kebandarudaraan dan pelayanan jasa terkait bandar udara yang dilakukan oleh badan usaha bandar udara, seluruh atau sebagian besar modalnya harus dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia. Dalam hal modal badan usaha bandar udara yang dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia terbagi dalam beberapa pemilik modal, salah satu pemilik modal nasional harus tetap lebih besar dari keseluruhan pemegang modal asing38, sedangkan ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pengusahaan di bandar udara, serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan39
8. Pelayanan dan Fasilitas Khusus
Pelayanan dan fasilitas khusus diatur di dalam Pasal 239 UURI No.1/2009. Penyandang cacat, orang sakit, orang lanjut usia dan anak-anak berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus40 dari badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara. Pelayanan dan fasilitas khusus untuk pelayanan penyandang cacat, orang sakit, orang lanjut usia dan anak-anak tersebut meliputi
(a) pemberian prioritas pelayanan di terminal,
(b) penyediaan fasilitas untuk penyandang cacat selama di terminal,
(c) sarana bantu bagi orang sakit,
(d) penyediaan fasilitas untuk ibu merawat bayi (nursery),
(e) penyediaan personel yang khusus bertugas untuk melayani atau berkomunikasi dengan penyandang cacat, orang sakit dan orang lanjut usia serta
(f) penyediaan informasi atau petunjuk tentang keselamatan bangunan bagi penumpang di terminal dan sarana lain yang dapat dimengerti oleh penyandang cacat, orang sakit dan lanjut usia.
Ketentuan tersebut akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Perhubungan41
9. Tanggung Jawab dan Ganti Kerugian
Tanggung jawab dan ganti kerugian diatur di dalam Pasal 240 sampai dengan Pasal 242 UURI No.1/2009. Menurut Pasal-pasal tersebut diatur tanggung jawab badan usaha bandar udara dan orang perseorangan warga negara Indonesia. Menurut Pasal 240 UURI No.1/2009, badan usaha bandar udara bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara42 dan/atau pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengoperasian bandar udara.
Tanggung jawab tersebut terhadap kerugian (a) atas kematian, (b) musnah, hilang atau rusak peralatan yang dioperasikan, dan/atau dampak lingkungan di sekitar bandar udara akibat pengoperasian bandar udara 43.
Resiko atas tanggung jawab terhadap kerugian atas kematian, musnah, hilang atau rusak peralatan yang dioperasikan, dan/atau dampak lingkungan di sekitar bandar udara akibat pengoperasian bandar udara wajib diasuransikan44.
Setiap orang termasuk badan hukum yang tidak mengasuransikan resiko atas tanggung jawab terhadap kerugian karena kematian, musnah, hilang atau rusak peralatan yang dioperasikan, dan/atau dampak lingkungan di sekitar bandar udara akibat pengoperasian bandar udara, dikenakan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan sertitifikat dan/atau pencabutan sertifikat45.
Di samping itu, orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan usaha yang melaksanakan kegiatan di bandar udara bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas setiap kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas bandar udara yang diakibatkan oleh kegiatan mereka46. Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab atas kerugian serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan47
10. Tarif Jasa Kebandarudaraan
Tarif jasa kebandaudaraan diatur di dalam Pasal 243 sampai dengan Pasal 246 UURI No.1/2009. Menurut Pasal 243 setiap pelayanan jasa kebandarudaraan dan jasa terkait dengan bandar udara dikenakan tarif sesuai dengan jasa yang disediakan. Menteri Perhubungan menetapkan struktur dan golongan tarif jasa kebandarudaraan terhadap pelayanan jasa kebandarudaraan dan jasa terkait dengan bandar udara48.
Besaran tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara yang diusahakan secara komersial ditetapkan oleh badan usaha bandar udara, sedangkan besaran tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara yang belum diusahakan secara komersial ditetapkan dengan (a) peraturan pemerintah untuk bandar udara yang diselenggarakan oleh unit penyelenggara bandar udara, atau (b) peraturan daerah untuk bandar udara yang diselenggarakan oelh unit penyelenggara bandar udara pemerintah daerah49 dan besaran tarif jasa terkait pada bandar udara ditetapkan oleh penyedia jasa terkait berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dengan penyedia jasa50. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan tarif jasa kebandarudaraan diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan51
11.Bandar Udara Khusus
Bandar udara khusus diatur di dalam Pasal 247 sampai dengan Pasal 252 UURI No.1/2009. Menurut Pasal 247 UURI No.1/2009, dalam rangka menunjang kegiatan tertentu, pemerintah, pemerintah daerah dan/atau badan hukum Indonesia dapat membangun bandar udara khusus setelah mendapat izin pembangunan dari Menteri Perhubungan.
Izin pembangunan bandar udara khusus diberikan oleh Menteri Perhubungan setelah memenuhi persyaratan
(a) bukti kepemilikan dan/atau penguasaan lahan,
(b) rekomendasi yang diberikan oleh pemerintah daerah setempat,
(c) rancangan teknik terinci fasilitas pokok, dan
(d) kelestarian lingkungan52.
Pengawasan dan pengendalian pengoperasian bandar udara khusus dilakukan oleh otoritas bandar udara terdekat yang ditetapkan oleh Menteri Perhubungan53. Bandar udara khusus dilarang melayani penerbangan langsung dari dan/atau ke luar negeri, digunakan untuk melayani kepentingan umum, kecuali dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara, setelah memperoleh izin dari Menteri Perhubungan54.
Bandar udara khusus dapat berubah menjadi bandar udara yang dapat melayani kepentingan umum setelah memenuhi persyaratan ketentuan bandar udara55 dan ketentuan lebih lanjut mengenai izin pembangunan dan pengoperasian bandar udara khusus serta perubahan status menjadi bandar udara yang melayani kepentingan umum diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan56
12.Tempat Pendaratan dan Lepas Landas Helikopter
Tempat pendaratan dan lepas landas helikopter diatur di dalam Pasal 253 sampai dengan Pasal 255 UURI No.1/2009. Menurut Pasal 253 UURI No.1/2009 tempat pendaratan dan lepas landas helikopter terdiri atas
(a) tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di daratan (surface level heliport),
(b) tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di atas gedung (elevated heliport), dan
(c) tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di perairan (helideck).
Izin mendirikan bangunan tempat pendaratan helikopter baik di darat (surface level heliport), di atas gedung (elevated heliport) maupun di perairan (helideck) diberikan oleh pemerintah daerah setempat setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri Perhubungan yang meliputi aspek penggunaan ruang udara, rencana jalur penerbangan ke dan dari tempat pendaratan dan lepas landas helikopter dan standar teknis operasional keselamatan dan keamanan penerbangan57. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemberian izin pembangunan dan pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas helikopter diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan58
13.Bandar Udara Internasional
Bandar udara internasional diatur dalam Pasal 256 UURI No./2009. Menurut Pasal tersebut Menteri Perhubungan menetapkan beberapa bandar udara internasional dengan mempertimbangkan rencana induk nasional bandar udara, pertahanan dan keamanan negara, pertumbuhan dan perkembangan pariwisata, kepentingan dan kemampuan angkutan udara nasional serta pengembangan ekonomi nasional dan perdagangan luar negeri, di samping pertimbangan dari menteri terkait. Ketentuan lebih lanjut mengenai bandar udara internasional diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan.
14.Penggunaan Bersama Bandar Udara dan Pangkalan Udara
Penggunaan bersama bandar udara dan pangkalan udara diatur dalam Pasal 257 sampai dengan Pasal 259 UURI No.1/2009. Menurut Pasal 257 UURI No.1/2009 dalam keadaan tertentu59 bandar udara dapat digunakan sebagai pangkalan udara dan sebaliknya pangkalan udara dapat digunakan bersama sebagai bandar udara. Penggunaan bersama bandar udara atau pangkalan udara dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan pelayanan jasa transportasi udara, keselamatan, keamanan dan kelancaran penerbangan, keamanan dan pertahanan negara serta peraturan perundang-undangan.
Dalam keadaan damai, pangkalan udara yang digunakan bersama berlaku ketentuan penerbangan sipil, sedangkan pengawasan dan pengendalian penggunaan kawasan keselamatan operasi penerbangan pada pangkalan udara yang digunakan bersama dilaksanakan oleh otoritas bandar udara setelah mendapat persetujuan dari instansi terkait60, sedangkan bandar udara dan pangkalan udara yang digunakan bersama ditetapkan dengan Keputusan Presiden61.
Ditulis oleh DR.H.K.Martono SH LLM
Senin, 19 Januari 2009 15:20
Indeks Artikel
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN dari sisi BANDAR UDARA
1.Pendahuluan
2.Pemisahan Regulator Dengan Operator
4.Fasilitas Bandar Udara
5.Personel Bandar Udara
6.Kegiatan Pemerintahan dan Otoritas Bandar Udara
7. Pengusahaan di Bandar Udara
8. Pelayanan dan Fasilitas Khusus
9. Tanggung Jawab dan Ganti Kerugian
10. Tarif Jasa Kebandarudaraan
11.Bandar Udara Khusus
12.Tempat Pendaratan dan Lepas Landas Helikopter
13.Bandar Udara Internasional
14.Penggunaan Bersama Bandar Udara dan Pangkalan Udara
Semua Halaman
Oleh
DR.H.K.Martono SH LLM 1
1.Pendahuluan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan2 disahkan dalam rapat paripurna DPR-RI pada tanggal 17 Desember 2008 dan ditanda tangani pada tanggal 12 Januari 2009. UURI No.1/2009 tersebut sangat menjanjikan terhadap pertumbuhan transportasi udara di Indonesia, karena sebagai dasar hukum telah mengatur secara komprehensif:
pengadaan pesawat udara sebagaimana terdapat dalam konvensi Cape Town 2001,
prinsip ekstra teritorial,
kedaulatan atas wilayah udara Indonesia,
pelanggaran wilayah kedaulatan,
produksi pesawat udara,
pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara,
kelaikudaraan,
pengoperasian pesawat udara,
keselamatan penerbangan,
keamanan penerbangan di darat maupun dalam pesawat udara,
asuransi pesawat udara,
independensi investigasi kecelakaan pesawat udara,
pembentukan majelis profesi penerbangan,
lembaga penyelenggara pelayanan umum yang sering disebut badan pelayan umum (BLU),
berbagai jenis angkutan udara baik niaga dalam negeri maupun luar negeri,
angkutan udara bukan niaga (general aviation),
perlindungan pengguna jasa transportasi udara,
hak-hak dan kewajiban pengguna jasa transportasi udara,
persyaratan perusahaan penerbangan baik manajemen, operasional, teknologi maupun permodalan, mayoritas saham (single majority), jaminan bank (bank guarantee), kepemilikan dan penguasaan pesawat udara, komponen tarif, biaya tambahan (surcharge), pelayanan bagi penyandang cacat, pengangkutan barang-barang berbahaya (dangerous goods), ekspedisi dan keagenan, tanggung jawab pengangkut, konsep tanggung jawab pengangkut, asuransi tanggung jawab pengangkut, tanggung jawab pengangkut terhadap pihak ketiga (third parties liability),
tatanan kebandarudaraan baik lokasi maupun persyaratannya, obstacles, perubahan iklim yang menimbulkan panas bumi,
sumber daya manusia baik di bidang operasi penerbangan, teknisi bandar udara otoritas bandar udara (airport authority), pelayanan bandar udara,
navigasi penerbangan,
fasilitas navigasi penerbangan,
keamanan penerbangan,
lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan (single air service provider),
penegakan hukum,
penerapan sanksi administratif yang selama ini tidak diatur,
budaya keselamatan penerbangan,
penanggulangan tindakan melawan hukum dan berbagai ketentuan baru guna mendukung keselamatan transportasi udara nasional maupun internasional,
semuanya dimaksudkan sebagai dasar hukum tindak lanjut temuan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) beberapa waktu yang lalu. Secara filosofis penulis berpendapat bahwa jiwa dari UURI No.1/2009 bermaksud memisahkan regulator dengan operator sehingga tugas dan tanggung jawab masing-masing jelas, tidak tumpang tindih, transparan. Secara umum UURI No.1/2009 ini mengalami perubahan yang signifikan, dibandingkan dengan Undang-undang sebelumnya, sebab konsep semula hanya 103 pasal dalam perkembangannya membengkak menjadi 466 pasal. Artikel ini bermaksud menguraikan UURI No.1/2009 dari sisi bandar udara khususnya mengenai pengoperasian, fasilitas, personel bandar udara, kegiatan pemerintahan dan otoritas bandar udara, pengusahaan di bandar udara, pelayanan dan fasilitas khusus, tanggung jawab dan ganti kerugian, tarif jasa kebandarudaraan, bandar udara khusus, tempat pendaratan dan lepas landas helikopter, bandar udara internasional, dan penggunaan bersama bandar udara dan pangkalan udara, namun demikian sebelum menguraikan hal tersebut, lebih dahulu dijelaskan pemisahan antara regulator dengan operator sebagai berikut.
2.Pemisahan Regulator Dengan Operator
Penulis berpendapat tampaknya suasana kebatinan UURI No.1/2009 adalah pemisahan antara peran regulator dan operator. Dengan pemisahan tersebut masing-masing mempunyai peran yang jelas, terpisah, tidak tumpang tindih, transparan. Sesuai dengan ketentuan UUD 1945, semua kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bilamana boleh meminjam istilah dalam UURI No.5/19603, perkataan “menguasai” berarti negara berwenang “mengatur” penggunaan atau kemanfaatan “kegiatan yang menguasai orang banyak” Berdasarkan kewenangan tersebut, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, kewenangan tersebut dilakukan oleh pemerintah, untuk dan atas nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NKRI yang dalam hal ini dilakukan oleh pemerintah, memisah-misahkan kegiatan-kegiatan yang menguasai hidup orang banyak yang dilakukan oleh regulator atau oleh operator, agar regulator tidak bertindak sebagai operator dan sebaliknya operator bertindak sebagai regulator. Kegiatan-kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetapi tidak menguntungkan, maka harus dilaksanakan oleh pemerintah dalam hal ini unit penyelenggara pemerintah yang merupakan kewajiban pelayanan umum (public service obligation), sedangan kegiatan-kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetapi menguntungkan, maka diserahkan kepada operator baik milik negara maupun swasta yang merupakan pelayanan keikut sertaan swasta (private service participant) dengan memungut biaya dari penerima jasa yang diterima, sedangkan kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak yang dapat membiayai diri (cost recovery) dapat diselenggarakan oleh badan tertentu (operator) tanpa harus membebani pemerintah, sehingga beban pemerintah terhadap kewajiban menyelenggarakan pelayanan umum ( public service obligation) dapat dikurangi oleh badan tersebut.
Secara historis, di bidang penerbangan, pemikiran pemisahan peran regulator dengan operator telah timbul dalam tahun 1991, saat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan disiapkan. Pada saat itu, pemerintah bermaksud agar swasta berperan dalam pembangunan bandar udara, sehingga tidak membebani keuangan negara, tetapi saat itu ketua IGGI Drs Pronk mengingatkan agar bandar udara tidak diserahkan kepada swasta, akibat peringatan tersebut rapat di Departemen Keuangan pada saat itu mengarahkan agar memperhatikan peringatan ketua IGGI, Drs Pronk, karena itu penyelenggaraan bandar udara tetap dilakukan oleh pemeritah, karena itu lahirlah pasal 26 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan yang pada prinsipnya menyatakan bahwa penyelenggaraan bandar udara untuk umum dan pelayanan navigasi penerbangan dilakukan oleh pemerintah yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada badan usaha milik negara yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penjelasannya dikatakan bahwa yang dimaksudkan penyelenggara bandar udara meliputi kegiatan perencanaan, pembangunan, pengoperasian, perawatan dan pengawasan serta pengendaliannya.
Dalam pasal yang sama juga dikatakan bahwa badan hukum Indonesia dapat diikut sertakan menyelenggarakan bandar udara umum, namun demikian harus kerja sama dengan badan usaha milik negara yang bersangkutan. Badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia dapat melakukan pengadaan, pengoperasian dan perawatan fasilitas penunjang bandar udara yang diperlukan untuk memperlancar arus lalu lintas penumpang, kargo, pos di bandar udara seperti usaha-usaha jasa boga, toko, gudang, hanggar, parkir kendaraan dan jasa perawatan pada umumnya, karena itu bilamana suasana kebatinan UURI No.1/2009 tersebut bermaksud memisahkan peran regulator dengan operator sebenarnya hal yang wajar saja.
Secara filosofis, bilamana menjadi penguasa (biasanya regulator), jangan menjadi pengusaha (biasanya operator) dan sebaliknya, namun demikian di dalam tahun 1960’an pemerintah tidak mempunyai dana yang cukup, karenanya saat itu dibentuk Perusahaan Negara yang disingkat “PN”. Pada saat itu “Perusahaan Negara” terdiri atas 3 (tiga) macam masing-masing “Perusahaan Jawatan (PERJAN)” yang berfungsi memberi pelayanan 75% public service obligation (PSO), dan 25% mencari keuntungan (profit-making), “Perusahaan Umum (PERUM) yang memberi pelayan masing-masing 50% public service obligation (PSO) dan mencari keuntungan (profit-making), dan “Peseroan Terbatas (PT) yang memberi pelayanan atas dasar private service participant 100% untuk mencari keuntungan. Dalam perkembangannya semua Badan Usaha Milik Negara berbentuk PT (Pesero) yang mempunyai fungsi 100% memberi pelayanan dengan memungut keuntungan dan akhir-akhir ini lahir bentuk-bentuk badan hukum lainnya misalnya Badan Hukum Milik Negara (BHMN), Badan Layanan Umum (BLU) dan Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang sedang diributkan, di samping Badan Usaha Milik Negera (BUMN) yang sudah ada.
Sebagaimana disebutkan di atas, dari aspek yuridis, berdasarkan ketentuan Undang-undang Dasar 1945 mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak “dikuasai” oleh negara. Bilamana boleh meminjam pengertian Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Pengaturan Agraria, maka perkataan “menguasai” berarti mengatur penyelenggaraan transportasi udara beserta penunjangnya. Berdasarkan pengertian tersebut pemerintah dalam kapasitasnya sebagai regulator membedakan ciri-ciri kewajiban memberi layanan umum (public service obligation) adalah
(a) kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak,
(b) kegiatan tersebut tidak menguntungkan,
(c) kegiatan tersebut dibiayai dengan anggaran belanja dan pengeluaran negara (APBN) yang berarti uang rakyat,
(d) kegiatan tersebut tidak memungut biaya dari penerima jasa layanan,
(e) bedasarkan teori iure imperium pemberi layanan tidak bertanggung jawab dalam arti liability, tetapi bertanggung jawab dalam arti responsibility,
(f) kedudukan antara pemberi layanan dengan penerima layanan subordinat,
(g) berlaku hukum publik yang bersifat memaksa,
sedangkan operator memberi layanan swasta (private service participant) ciri-cirinya adalah
(a) kegiatan tersebut menguasai hajat hidup orang banyak,
(b) kegiatan tersebut menguntungkan,
(c) kegiatan tidak dibiayai dengan anggaran belanja dan pengeluaran negara (APBN),
(d) pemberi pelayanan boleh memungut keuntungan dari penerima layanan,
(e) pemberi pelayanan bertanggung jawab dalam arti liability dalam hal penerima layanan mengalami kerugian akibat layanan yang diberikan,
(f) kedudukan antara pemberi layanan dengan penerima layanan sama tinggi,
(g) berlaku hukum perdata yang bersifat sukarela.
Sebagaimana disebutkan di atas, dalam perkembangannya lahir lembaga baru yang biasa dikenal dengan Badan Layanan Umum (BLU). Penulis berpendapat bahwa BLU tersebut berada antara Perusahaan Jawatan (PERJAN) dengan Perseroan Terbaas (PT) pada konsep hukum tahun 1960’an yang disesuaik dan dengan tuntutan teknologi pada saat ini, karena itu kreteria BLKU adalah
(a) kegiatan yang menguasai hajat hidup orang banyak,
(b) kegiatan tersebut tidak menguntungkan, tetapi mampu membiayai diri sendiri (cost recovery),
(c) kegiatan tersebut tidak dibiayai dengan anggaran belanja dan pengeluaran negara (APBN) yang berarti uang rakyat,
(d) kegiatan tersebut memungut biaya dari penerima jasa layanan sesuai dengan kebutuhan teknologi,
(e) bedasarkan teori iure imperium pemberi layanan tidak bertanggung jawab dalam arti liability, tetapi bertanggung jawab dalam arti responsibility,
(f) kedudukan antara pemberi layanan dengan penerima layanan subordinat,
(g) berlaku hukum publik yang bersifat memaksa.
Bilamana kriteria tersebut diterapkan dalam UURI No.1/2009, maka kreteria BLU adalah
(a) mengutamakan keselamatan penerbangan,
(b) tidak berorientasi pada keuntungan,
(c) kegiatan tersebut tidak dibiayai dengan anggaran belanja dan pengeluaran negara (APBN) yang berarti uang rakyat,
(d) biaya yang dipungut dikembalikan kepada penerima jasa pelayanan,
(e) berdasarkan teori iure imperium, pemberi pelayanan tidak bertanggung jawab dalam arti liability
(f) kedudukan antara pemberi layanan dengan penerima layanan subordinat,
(g) berlaku hukum publik yang bersifat memaksa.
Berdasarkan kriteria tersebut dapat digunakan untuk menentukan kegiatan mana yang menguasai hajat hidup orang banyak yang dapat diserahkan kepada operator berbentuk BLU dan PT sebagai pengusaha. Di dalam dunia penerbangan bilamana diteliti dengan cermat masih banyak kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh operator dalam bentuk BLU, sehingga dapat mengurangi beban pemerintah dengan prinsip bahwa mereka yang menerima layanan, merekalah yang memberi biaya layanan yang dinikmati, secara teoritis ada ketidak adilan bilamana mereka tidak menikmati jasa transportasi udara, tetapi dibebani untuk membiayai.
3.Pengoperasian Bandar Udara 4
Pengoperasian bandar udara diatur dalam Pasal 217 dan 218 UURI No.1/2009. Pasal-pasal tersebut mengatur persyaratan sertifikat bandar udara, register bandar udara beserta sanksi pelanggarannya. Menurut Pasal 217 UURI No.1/2009 tersebut setiap bandar udara yang dioperasikan wajib memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan serta ketentuan pelayanan jasa bandar udara. Bilamana bandar udara tersebut telah memenuhi keselamatan penerbangan, keamanan penerbangan dan pelayanan jasa bandar udara, maka Menteri Perhubungan akan memberikan (a) sertifikat bandar udara atau (b) register bandar udara.
Sertifikat bandar udara diberikan oleh Menteri Perhubungan untuk bandar udara dengan kapasitas pesawat udara yang lebih dari 30 (tiga puluh) tempat duduk atau dengan berat maksimum tinggal landas pesawat udara lebih dari 5.700 (lima ribu tujuh ratus) kilogram, sedangkan register bandar udara diberikan oleh Menteri Perhubungan untuk bandar udara yang melayani pesawat udara dengan kapasitas pesawat udara maksimum 30 (tiga puluh) tempat duduk atau dengan berat pesawat udara maksimum tinggal landas sampai dengan 5.700 (lima ribu tujuh ratus) kilogram.
Persyaratan untuk memperoleh sertifikat bandar udara berbeda dengan persyaratan untuk memperoleh register bandar udara. Persyaratan yang pertama, sertifikat bandar udara adalah setelah bandar udara memiliki buku pedoman pengoperasian bandar udara (aerodrome manual) yang telah memenuhi persyaratan teknis tentang
(a) personel,
(b) fasilitas,
(c) prosedur operasi bandar udara, dan
(d) sistem manajemen keselamatan operasi penerbangan,
sedangkan untuk memperoleh register bandar udara yang diberikan oleh Menteri Perhubungan, setelah bandar udara memiliki buku pedoman pengoperasian bandar udara yang memenuhi persyaratan teknis tentang
(a) personel,
(b) fasilitas, dan
(c) prosedur operasi bandar udara.
Setiap orang yang dengan sengaja mengoperasikan bandar udara tanpa memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan dipidana penjara paling lama 3(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.1000.000.000,00 (satu miliar rupiah),dalam hal menimbulkan kerugian harta benda seseorang, dipidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar), bilamana menyebabkan matinya orang, dipidana penjara paling lama 15(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar)5, sedangkan setiap orang yang mengoperasikan bandar udara tidak memenuhi ketentuan pelayanan jasa bandar udara, dikenakan sanksi administratif berupa peringatan, penurunan tarif jasa bandar udara, dan/atau pencabutan sertifikat6. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat bandar udara atau register bandar udara, dan pengenaan sanksi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Perhubungan.
4.Fasilitas Bandar Udara
Fasilitas bandar udara diatur di dalam Pasal 219 sampai dengan Pasal 221 UURI No.1/2009. Setiap badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib menyediakan fasilitas bandar udara yang diberikan sertifikat fasilitas bandar udara oleh Menteri Perhubungan. Sertifikat tersebut diberikan oleh Menteri Perhubungan setelah memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan, serta pelayanan jasa bandar udara sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan. Badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib melakukan perawatan dalam jangka waktu tertentu dengan cara pengecekan, tes, varifikasi dan/atau kalibrasi fasilitas bandar udara untuk mempertahankan (sustainability) kesiapan fasilitas bandar udara7, sedangkan untuk menjaga dan meningkatkan kinerja fasilitas, prosedur, dan personelnya, badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib melakukan pelatihan penanggulangan keadaan darurat secara berkala.
Setiap badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara yang tidak menyediakan fasilitas bandar udara yang memenuhi persyaratan keselamatan penerbangan, keamanan penerbangan serta pelayanan jasa bandar udara, melakukan perawatan dalam jangka waktu tertentu dengan cara pengecekan, tes, verifikasi dan/atau kalibrasi, tidak meningkatkan kinerja fasilitas, prosedur, dan personel8, dan pengoperasian bandar udara yang tidak dilakukan oleh tenaga manajerial yang memiliki kemampuan dan kompetensi operasi dan manajerial bidang teknis dan/atgau operasi bandar udara, dikenakan sanksi administratif berupa (a) peringatan, (b) pembekuan sertifikat, dan/atau pencabutan sertifikat bandar udara9, Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian fasilitas bandar udara serta tata cara dan prosedur penggunaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan.
5.Personel Bandar Udara 10
Personel bandar udara diatur di dalam Pasal 222 sampai dengan Pasal 225 UURI No.1/2009. Dalam pasal-pasal tersebut diatur kewajiban, persyaratan personel, lisensi bandar udara yang diberikan oleh negara lain dan sanksi administratif. Menurut Pasal 222 UURI No.1/2009 setiap personel bandar udara wajib memiliki lisensi11 atau sertifikat12 kompetensi. Personel bandar udara yang terkait langsung dengan pelaksanaan pengoperasian dan/atau pemeliharaan fasilitas bandar udara13 wajib memiliki lisensi yang sah dan masih berlaku.
Lisensi tersebut diberikan oleh Menteri Perhubungan setelah memenuhi persyaratan
(a) administratif,
(b) sehat jasmani dan rohani,
(c) memiliki kompetensi di bidangnya, dan
(d) lulus ujian.
Sertifikat kompetensi di bidangnya diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah diakreditasi oleh Menter Perhubungan14
Personel bandar udara yang telah memiliki lisensi wajib
(a) melaksanakan pekerjaan sesuai dengan ketentuan di bidangnya,
(b) mempertahankan (sustainability) kemampuan yang dimiliki, dan
(c) melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala.
Personel bandar udara yang tidak memiliki lisensi atau sertifikat kompentensi dikenakan sanksi administratif berupa
(a) peringatan,
(b) pembekuan lisensi, dan
(c) pencabutan lisensi15.
Menurut Pasal 224 lisensi personel bandar udara yang diberikan oleh negara lain dinyatakan sah melalui proses pengesahan atau validasi oleh Menteri Perhubungan. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, lembaga pendidikan dan/atau pelatihan, serta pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri16
6.Kegiatan Pemerintahan dan Otoritas Bandar Udara 17
Kegiatan pemerintahan dan otoritas bandar udara18 diatur dalam Pasal 226 sampai dengan 231 UURI No.1/2009. Dalam pasal-pasal tersebut diatur kegiatan pemerintahan yang meliputi pembinaan kegiatan penerbangan, kepabeanan, keimigrasian dan kekarantinaan dan otoritas bandar udara. Menurut Pasal 226 mengatakan kegiatan pemerintahan yang meliputi pembinaan kegiatan penerbangan dilakukan oleh otoritas bandar udara, sedangkan fungsi kepabeanan, keimigrasian dan kekarantinaan tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pemerintahan di bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan19
Menurut Pasal 227 UURI No.1/2009, Menteri Perhubungan dapat membentuk satu atau beberapa otoritas bandar udara terdekat yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri. Dalam pelaksanaan tugasnya, otoritas bandar udara berkoordinasi20 dengan pemerintah daerah.
Otoritas bandar udara di samping mempunyai tugas membantu kelancaran investigasi kecelakaan pesawat udara sebagaimana, juga mempunyai tugas dan tanggung jawab
(a) menjamin keselamatan, keamanan, kelancaran dan kenyamanan di bandar udara,
(b) memastikan terlaksana dan terpenuhinya ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan, kelancaran dan kenyamanan di bandar udara,
(c) menjamin terpeliharanya pelestarian lingkungan bandar udara,
(d) menyelesaikan masalah-masalah yang dapat mengganggu kelancaran kegiatan operasional bandar udara yang dianggap tidak dapat diselesaikan oleh instansi lainnya,
(e) melaporkan kepada pimpinan tertingginya dalam hal pejabat instansi di bandar udara, melalaikan tugas dan tanggung jawabnya serta mengabaikan dan/atau tidak menjalankan kebijakan dan peraturan yang ada di bandar udara,
(f) melaporkan pelaksaan tugas dan tanggung jawabnya kepada Menteri Perhubungan.
Otoritas bandar udara yang dibentuk oleh Menteri Perhubungan tersebut mempunyai wewenang
(a) mengkoordinasikan kegiatan pemerintahan di bandar udara yang bersangkutan,
(b) mengatur, mengendalikan dan mengawasi palaksanaan ketentuan keselamatan penerbangan, keamanan penerbangan, kelancaran serta kenyamanan penerbangan di bandar udara yang bersangkutan,
(c) mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pelaksanaan pelestarian lingkungan,
(d) mengatur, mengendalikan, dan mengawasi penggunaan lahan daratan dan/atau perairan bandar udara sesuai dengan rencana induk bandar udara,
(e) mengatur, mengendalikan, dan mengawasi penggunaan kawasan keselamatan operasi penerbangan dan daerah lingkungan kerja bandar udar serta daerah lingkungan kepentingan bandar udara,
(f) mengatur, mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan standar kinerja operasional pelayanan jasa di bandar udara, dan
(g) memberikan sanksi administratif kepada badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, dan/atau badan usaha lainnya yang tidak memenuhi ketentuan keselamatan, keamanan, kelancaran serta kenyamanan penerbangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dijelaskan bahwa aparat otoritas bandar udara merupakan pegawai negeri sipil yang memiliki kompetensi di bidang penerbangan sesuai dengan standar dan kretaria yang ditetapkan Menteri Perhubungan yang lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan.
7. Pengusahaan di Bandar Udara
Pengusahaan di bandar udara diatur dalam Pasal 232 sampai dengan Pasal 238 UURI No.1/2009. Pasal-pasal tersebut mengatur jenis kegiatan pengusahaan, pelayanan jasa kebandarudaraan21 yang dilaksanakan oleh badan usaha kebandarudaraan.
Menurut Pasal 232 UURI No.1/2009, kegiatan pengusahaan bandar udara terdiri atas pelayanan jasa kebandarudaraan, dan pelayanan jasa terkait bandar udara. Yang pertama, pelayanan jasa kebandarudaraan, meliputi pelayanan jasa pesawat udara, penumpang, barang dan pos yang terdiri atas penyediaan dan/atau pengembangan (a) fasilitas untuk kegiatan pelayanan pendaratan, lepas landas, manufer, parkir dan penyimpanan pesawat udara, (b) fasilitas terminal untuk pelayanan angkutan penumpang, kargo dan pos, (c) fasilitas elektronika, listrik, air dan instalasi libah buangan, dan (d) lahan untuk bangunan, lapangan dan industri serta gedung atau bangunan yang berhubungan dengan kelancaran angkutan udara 22, sedangkan yang terakhir, pelayanan jasa terkait dengan bandar udara untuk menunjang kegiatan pelayanan operasi pesawat udara di bandar udara yang meliputi (a) penyediaan hanggar pesawat udara, (b) perbengkelan pesawat udara, (c) pergudangan, (d) katering, (e) pelayanan teknis penanganan pesawat udara di darat (ground handling), (f) pelayanan penumpang dan bagasi, serta penanganan kargo dan pos23.
Jasa terkait untuk menunjang kegiatan pelayanan penumpang dan barang terdiri atas
(a) penyediaan penginapan/hotel, transit hotel, toko dan restoran,
(b) penyimpanan kendaraan bermotor,
(c) pelayanan kesehatan,
(d) perbankkan dan/atau penukaran uang, dan
(e) tranportasi darat24,
sedangkan jasa terkait untuk memberikan nilai tambah bagi pengusahaan bandar udara terdiri atas penyediaan
(a) tempat bermain dan rekreasi, fasilitas perkantoran, fasilitas olah raga, fasilitas pendidikan dan pelatihan,
(b) pengisian bahan bakar kendaraan bermotor,
(c) periklanan25.
Pelayanan jasa kebandarudaraan berupa
(a) fasilitas untuk kegiatan pelayanan pendaratan, lepas landas, manufer, parkir dan penyimpanan pesawat udara,
(b) fasilitas terminal untuk pelayanan angkutan penumpang, kargo dan pos,
(c) fasilitas elektronika, listrik, air dan instalasi limbah buangan, dan
(d) lahan untuk bangunan, lapangan dan industri serta gedung atau bangunan yang berhubungan dengan kelancaran angkutan udara,
dapat diselenggarakan oleh
(a) badan usaha bandar udara untuk bandar udara yang diusahakan secara komersial setelah memperoleh izin dari Menteri Perhubungan atau unit penyelenggara bandar udaras untuk bandar udara yang belum diusahakan secara komersial yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada pemerintah dan/atau pemerintah daerah26.
Izin Menteri Perhubungan yang tidak dapat dipindahtangankan27 terhadap bandar udara yang diselenggarakan oleh badan usaha untuk bandar udara yang diusahakan secara komersial diberikan setelah memenuhi persyaratan administratif28, keuangan dan manajemen29, sedangkan pelayanan jasa yang terkait bandar udara yang meliputi penyediaan hanggar pesawat udara, perbengkelan pesawat udara, pergudangan, katering, pelayanan teknis penanganan pesawat udara di darat (ground handling), pelayanan penumpang dan bagasi, serta penanganan kargo dan pos30.
Jasa terkait untuk menunjang kegiatan pelayanan penumpang dan barang terdiri atas penyediaan penginapan/hotel, transit hotel, toko dan restoran, penyimpanan kendaraan bermotor, pelayanan kesehatan, perbankkan dan/atau penukaran uang, dan tranportasi darat31, jasa terkait untuk memberikan nilai tambah bagi pengusahaan bandar udara terdiri atas penyediaan tempat bermain dan rekreasi, fasilitas perkantoran, fasilitas olah raga, fasilitas pendidikan dan pelatihan, pengisian bahan bakar kendaraan bermotor, periklanan dapat diselenggarakan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia32.
Dalam pelaksanaan pelayanan jasa kebandarudaraan yang meliputi pelayanan jasa pesawat udara, penumpang, barang dan pos yang terdiri atas penyediaan dan/atau pengembangan, badan usaha kebandarudaraan dan atau unit penyelenggara bandar udara wajib
(a) memiliki sertifikat bandar udara atau register bandar udara;
(b) menyediakan fasilitas bandar udara yang laik operasi, serta memelihara kelaikan fasilitas bandar udara, personel yang mempunyai kompetensi untuk perawatan dan pengoperasian fasilitas bandar udara, prosedur pengoperasian dan perawatan fasilitas bandar udara, fasilitas kelancaran lalu lintas personel pesawat udara dan petugas operasional;
(c) menjaga dan meningkatkan keselamatan penerbangan, keamanan penerbangan, kelancaran dan kenyamanan di bandar udara, ketertiban bandar udara,
(d) memelihara kelestarian lingkungan;
(e) melakukan pengawasan dan pengendalian secara internal atas kelaikan fasilitas bandar udara, pelaksanaan prosedur perawatan dan pengoperasian fasilitas bandar udara serta kompetensi personel bandar udara;
(f) mempertahankan (sustainability) dan meningkatkan kompetensi personel yang merawat dan mengoperasikan fasilitas bandar udara; (g) memberikan pelayanan kepada pengguna jasa bandar udara sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan oleh Menteri Perhubungan dan laporan secara berkala kepada Menteri Perhubungan, otoritas bandar udara33.
Setiap orang yang melanggar ketentuan pelaksanaan pelayanan jasa kebandarudaraan yang meliputi pelayanan jasa pesawat udara, penumpang, barang dan pos yang terdiri atas penyediaan dan/atau pengembangan, dikenakan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin, dan/atau pencabutan izin34 .
Pelayanan jasa kebandarudaraan yang dilaksanakan oleh badan usaha bandar udara diselenggarakan berdasarkan konsesi dan/atau bentuk lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan diberikan oleh Menteri Perhubungan dan dituangkan dalam perjanjian35, hasil konsesi dan/atau bentuk lainnya mengenai pelayanan jasa kebandarudaraan, merupakan pendapatan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan36. Badan usaha bandar udara dapat menyelenggarakan 1(satu) atasu lebih bandar udara yang diusahakan secara komersial37
Masalah modal pengusahaan bandar udara diatur di dalam Pasal 237 UURI No.1/2009. Menurut Pasal tersebut, pengusahaan kegiatan pelayanan jasa kebandarudaraan dan pelayanan jasa terkait bandar udara yang dilakukan oleh badan usaha bandar udara, seluruh atau sebagian besar modalnya harus dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia. Dalam hal modal badan usaha bandar udara yang dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia terbagi dalam beberapa pemilik modal, salah satu pemilik modal nasional harus tetap lebih besar dari keseluruhan pemegang modal asing38, sedangkan ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pengusahaan di bandar udara, serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan39
8. Pelayanan dan Fasilitas Khusus
Pelayanan dan fasilitas khusus diatur di dalam Pasal 239 UURI No.1/2009. Penyandang cacat, orang sakit, orang lanjut usia dan anak-anak berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus40 dari badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara. Pelayanan dan fasilitas khusus untuk pelayanan penyandang cacat, orang sakit, orang lanjut usia dan anak-anak tersebut meliputi
(a) pemberian prioritas pelayanan di terminal,
(b) penyediaan fasilitas untuk penyandang cacat selama di terminal,
(c) sarana bantu bagi orang sakit,
(d) penyediaan fasilitas untuk ibu merawat bayi (nursery),
(e) penyediaan personel yang khusus bertugas untuk melayani atau berkomunikasi dengan penyandang cacat, orang sakit dan orang lanjut usia serta
(f) penyediaan informasi atau petunjuk tentang keselamatan bangunan bagi penumpang di terminal dan sarana lain yang dapat dimengerti oleh penyandang cacat, orang sakit dan lanjut usia.
Ketentuan tersebut akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Perhubungan41
9. Tanggung Jawab dan Ganti Kerugian
Tanggung jawab dan ganti kerugian diatur di dalam Pasal 240 sampai dengan Pasal 242 UURI No.1/2009. Menurut Pasal-pasal tersebut diatur tanggung jawab badan usaha bandar udara dan orang perseorangan warga negara Indonesia. Menurut Pasal 240 UURI No.1/2009, badan usaha bandar udara bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara42 dan/atau pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengoperasian bandar udara.
Tanggung jawab tersebut terhadap kerugian (a) atas kematian, (b) musnah, hilang atau rusak peralatan yang dioperasikan, dan/atau dampak lingkungan di sekitar bandar udara akibat pengoperasian bandar udara 43.
Resiko atas tanggung jawab terhadap kerugian atas kematian, musnah, hilang atau rusak peralatan yang dioperasikan, dan/atau dampak lingkungan di sekitar bandar udara akibat pengoperasian bandar udara wajib diasuransikan44.
Setiap orang termasuk badan hukum yang tidak mengasuransikan resiko atas tanggung jawab terhadap kerugian karena kematian, musnah, hilang atau rusak peralatan yang dioperasikan, dan/atau dampak lingkungan di sekitar bandar udara akibat pengoperasian bandar udara, dikenakan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan sertitifikat dan/atau pencabutan sertifikat45.
Di samping itu, orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan usaha yang melaksanakan kegiatan di bandar udara bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas setiap kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas bandar udara yang diakibatkan oleh kegiatan mereka46. Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab atas kerugian serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan47
10. Tarif Jasa Kebandarudaraan
Tarif jasa kebandaudaraan diatur di dalam Pasal 243 sampai dengan Pasal 246 UURI No.1/2009. Menurut Pasal 243 setiap pelayanan jasa kebandarudaraan dan jasa terkait dengan bandar udara dikenakan tarif sesuai dengan jasa yang disediakan. Menteri Perhubungan menetapkan struktur dan golongan tarif jasa kebandarudaraan terhadap pelayanan jasa kebandarudaraan dan jasa terkait dengan bandar udara48.
Besaran tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara yang diusahakan secara komersial ditetapkan oleh badan usaha bandar udara, sedangkan besaran tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara yang belum diusahakan secara komersial ditetapkan dengan (a) peraturan pemerintah untuk bandar udara yang diselenggarakan oleh unit penyelenggara bandar udara, atau (b) peraturan daerah untuk bandar udara yang diselenggarakan oelh unit penyelenggara bandar udara pemerintah daerah49 dan besaran tarif jasa terkait pada bandar udara ditetapkan oleh penyedia jasa terkait berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dengan penyedia jasa50. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan tarif jasa kebandarudaraan diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan51
11.Bandar Udara Khusus
Bandar udara khusus diatur di dalam Pasal 247 sampai dengan Pasal 252 UURI No.1/2009. Menurut Pasal 247 UURI No.1/2009, dalam rangka menunjang kegiatan tertentu, pemerintah, pemerintah daerah dan/atau badan hukum Indonesia dapat membangun bandar udara khusus setelah mendapat izin pembangunan dari Menteri Perhubungan.
Izin pembangunan bandar udara khusus diberikan oleh Menteri Perhubungan setelah memenuhi persyaratan
(a) bukti kepemilikan dan/atau penguasaan lahan,
(b) rekomendasi yang diberikan oleh pemerintah daerah setempat,
(c) rancangan teknik terinci fasilitas pokok, dan
(d) kelestarian lingkungan52.
Pengawasan dan pengendalian pengoperasian bandar udara khusus dilakukan oleh otoritas bandar udara terdekat yang ditetapkan oleh Menteri Perhubungan53. Bandar udara khusus dilarang melayani penerbangan langsung dari dan/atau ke luar negeri, digunakan untuk melayani kepentingan umum, kecuali dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara, setelah memperoleh izin dari Menteri Perhubungan54.
Bandar udara khusus dapat berubah menjadi bandar udara yang dapat melayani kepentingan umum setelah memenuhi persyaratan ketentuan bandar udara55 dan ketentuan lebih lanjut mengenai izin pembangunan dan pengoperasian bandar udara khusus serta perubahan status menjadi bandar udara yang melayani kepentingan umum diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan56
12.Tempat Pendaratan dan Lepas Landas Helikopter
Tempat pendaratan dan lepas landas helikopter diatur di dalam Pasal 253 sampai dengan Pasal 255 UURI No.1/2009. Menurut Pasal 253 UURI No.1/2009 tempat pendaratan dan lepas landas helikopter terdiri atas
(a) tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di daratan (surface level heliport),
(b) tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di atas gedung (elevated heliport), dan
(c) tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di perairan (helideck).
Izin mendirikan bangunan tempat pendaratan helikopter baik di darat (surface level heliport), di atas gedung (elevated heliport) maupun di perairan (helideck) diberikan oleh pemerintah daerah setempat setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri Perhubungan yang meliputi aspek penggunaan ruang udara, rencana jalur penerbangan ke dan dari tempat pendaratan dan lepas landas helikopter dan standar teknis operasional keselamatan dan keamanan penerbangan57. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemberian izin pembangunan dan pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas helikopter diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan58
13.Bandar Udara Internasional
Bandar udara internasional diatur dalam Pasal 256 UURI No./2009. Menurut Pasal tersebut Menteri Perhubungan menetapkan beberapa bandar udara internasional dengan mempertimbangkan rencana induk nasional bandar udara, pertahanan dan keamanan negara, pertumbuhan dan perkembangan pariwisata, kepentingan dan kemampuan angkutan udara nasional serta pengembangan ekonomi nasional dan perdagangan luar negeri, di samping pertimbangan dari menteri terkait. Ketentuan lebih lanjut mengenai bandar udara internasional diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan.
14.Penggunaan Bersama Bandar Udara dan Pangkalan Udara
Penggunaan bersama bandar udara dan pangkalan udara diatur dalam Pasal 257 sampai dengan Pasal 259 UURI No.1/2009. Menurut Pasal 257 UURI No.1/2009 dalam keadaan tertentu59 bandar udara dapat digunakan sebagai pangkalan udara dan sebaliknya pangkalan udara dapat digunakan bersama sebagai bandar udara. Penggunaan bersama bandar udara atau pangkalan udara dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan pelayanan jasa transportasi udara, keselamatan, keamanan dan kelancaran penerbangan, keamanan dan pertahanan negara serta peraturan perundang-undangan.
Dalam keadaan damai, pangkalan udara yang digunakan bersama berlaku ketentuan penerbangan sipil, sedangkan pengawasan dan pengendalian penggunaan kawasan keselamatan operasi penerbangan pada pangkalan udara yang digunakan bersama dilaksanakan oleh otoritas bandar udara setelah mendapat persetujuan dari instansi terkait60, sedangkan bandar udara dan pangkalan udara yang digunakan bersama ditetapkan dengan Keputusan Presiden61.
MENYIKAPI LAHIRNYA UNDANG-UNDANG TENTANG PENERBANGAN 2008 bagian I
Ditulis oleh DR.H.K.Martono SH LLM
Kamis, 01 Januari 2009 06:24
(Bagian Pertama)
Oleh
DR H.K.Martono SH LLM 1
1.Pendahuluan
Undang-undang Penerbangan yang disahkan pada tanggal 17 Desember 2008 sangat menjanjikan terhadap pertumbuhan transportasi udara di Indonesia, karena undang-undang tersebut secara komprehensif mengatur pengadaan pesawat udara sebagaimana diatur dalam konvensi Cape Town 2001, berlakunya undang-undang secara extra-teritorial, kedaulatan atas wilayah udara Indonesia, pelanggaran wilayah kedaulatan yang lebih dipertegas, produksi pesawat udara, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, kelaikudaraan dan pengoperasian pesawat udara, keselamatan dan keamanan di dalam pesawat udara, asuransi pesawat udara, independensi investigasi kecelakaan pesawat udara, pembentukan majelis profesi penerbangan, lembaga penyelenggara pelayanan umum yang sering disebut badan palayan umum (BLU), pengadaan pesawat udara sebagaimana diatur di dalam Konvensi Cape Town 2001, berbagai jenis angkutan udara baik niaga maupun bukan niaga dalam negeri maupun luar negeri, kepemilikan modal harus single majority tetap berada pada warga negara Indonesia , perusahaan penerbangan minimum mempunyai 10 (sepuluh) pesawat udara, 5 lima dimiliki dan 5 dikuasai, komponen tarif yang dihitung berdasarkan tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi dan biaya tambahan, pelayanan bagi penyandang cacat, pengangkutan barang-barang berbahaya (dangerous goods), ekspedisi dan keagenan, tanggung jawab pengangkut, konsep tanggung jawab pengangkut, asuransi tanggung jawab pengangkut, tanggung jawab pengangkut terhadap pihak ketiga (third parties liability), tatanan kebandarudaraan baik lokasi maupun persyaratannya, obstacles, perubahan iklim yang menimbulkan panas bumi, sumber daya manusia baik di bidang operasi penerbangan, teknisi bandar udara maupun navigasi penerbangan, fasilitas navigasi penerbangan, otoritas bandar udara, pelayanan bandar udara, keamanan penerbangan, lembaga penyelenggara palayanan navigasi penerbangan (single air service provider), penegakan hukum, penerapan sanksi administratif yang selama ini tidak diatur, budaya keselamatan penerbangan, penanggulangan tindakan melawan hukum dan berbagai ketentuan baru guna mendukung keselamatan transportasi udara nasional maupun internasional. Jiwa dari undang-undang ini bermaksud memisahkan regulator dengan operator sehingga tugas dan tanggung jawab masing-masing jelas. Undang-undang ini mengalami perubahan yang signifikan, sebab semula hanya 103 pasal dalam perkembangannya membengkak menjadi 466 pasal. Tulisan ini bermaksud menguraikan lembaga penyelenggara layanan umum yang biasa dikenal dengan Badan Layanan Umum (BLU), pemisahan antara regulator dengan operator, investigasi kecelakaan pesawat udara, otoritas bandar udara dan single ATS Provider sebagai berikut.
2.Lembaga Penyelenggara Pelayanan Umum
Dalam Pasal 64 Undang-undang Penerbangan diatur lembaga penyelenggara pelayanan umum yang sering dikenal sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Dalam tulisan penulis yang disampaikan pada diskusi keselamatan penerbangan yang dilangsungkan di Ujung Pandang tanggal 4 Desember 2008 yang lalu telah diungkapkan perlunya pembentukan badan pelayanan umum. Badan ini mempunyai peran yang sangat penting dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia yang pada akhirnya akan meningkatkan keselamatan penerbangan. Semua pihak mengetahui bahwa sumber daya manusia, khususnya tenaga penerbang, teknisi dan operasional baik kuantitas maupun kualitas tidak memadai dibandingkan dengan pertumbuhan transportasi udara di Indonesia, sementara itu pada saat ini terdapat tidak kurang dari 225 penerbang, teknisi maupun operasional yang bekerja di Thailand, Jepang, Malaysia, Bangladesh, Saudi Arabia dll karena bekerja di Indonesia tidak memperoleh penghasilan yang memadai. Mereka bekerja di perusahaan penerbangan asing memperoleh pendapatan berkisar dari US$ 4.500 sampai dengan US$ 18,000 tergantung dari pengalaman dan rating yang dimiliki.
Tenaga professional di bidang penerbangan merupakan aset perusahaan penerbangan yang sangat menentukan kelangsungan hidup perusahaan. Kehilangan pesawat udara dapat segera diganti dengan pesawat udara yang baru, bilamana perusahaan penerbangan tidak mempunyai dana yang cukup, perusahaan penerbangan dapat meminjam dana kepada penyedia dana, tetapi berbeda dengan tenaga professional seperti penerbang dan teknisi pesawat udara. Untuk memperoleh sumber daya manusia tertentu yang memenuhi kebutuhan, tidak cukup dengan tersedianya dana, melainkan memerlukan pengalaman yang panjang, pendidikan yang lama, biaya yang mahal dan kemampuannya.
Lahirnya badan layanan umum dapat menciptakan dana yang diperoleh dari perusahaan penerbangan maupun perbengkelan yang dilayani. Pada saat ini perusahaan penerbangan maupun perbengkelan menawarkan kepada Pemerintah, untuk meng-audit dan perusahaan penerbangan dan perbengkelan tersebut bersedia membayar pelayanan yang diberikan, namun demikian Direktorat Jenderal Perhubungan Udara tidak bersedia menerima pembayaran yang ditawarkan oleh perusahaan penerbangan maupun perbengkelan karena tidak ada dasar hukumnya. Selama ini perusahaan penerbangan maupun perbengkelan pesawat udara menerima layanan audit tidak dipungut bayaran oleh pemerintah, dengan kata lain memperoleh pelayanan gratis artinya pelayanan tersebut dibayar oleh masyarakat yang dibebankan pada pajak rakyat. Secara filosofis terdapat ketidak-adilan, karena masyarakat yang tidak menikmati manfaat jasa transportasi udara, tetapi dibebani untuk membiayai audit terhadap perusahaan penerbangan. Dengan lahirnya lembaga pelayanan umum tersebut, maka biaya layanan audit dapat dibebankan kepada perusahaan penerbangan yang selanjutnya dapat dibebankan kepada pengguna jasa transportasi udara, wajar dibebani biaya audit karena mereka yang menikmati jasa transportasi udara.
Lembaga layanan umum tersebut antara lain pemberian sertifikat kelaikudaraan setelah lulus pemeriksaan dan pengujian kepada setiap pesawat udara yang dioperasikan, sertifikat operator pesawat udara (air operator certificate) kepada badan hukum Indonesia yang mengoperasikan pesawat udara sipil untuk angkutan udara niaga, sertifikat pengoperasian pesawat udara (operating certificate) kepada orang atau badan hukum Indonesia yang mengoperasikan pesawat udara unutk angkutan bukan niaga, pemberian lisensi ahli perawatan pesawat udara, perawatan dan pemeriksaan pesawat udara, pemeriksaan dan perawatan (maintenance manuals) terkini yang dikeluarkan oleh pabrikan, kendali mutu (quality assurance manuals), untuk menjamin dan mempertahankan kinerja perawatan pesawat udara, mesin, baling-baling dan komponennya secara berkelanjutan, suku cadang untuk mempertahankan keandalan dan kelaikudaraan berkelanjutan dan system manajemen keselamatan penerbangan, pemberian lisensi atau sertifikat kompeten setelah memenuhi persyaratan administrative, sehat jasmani dan rohani, dan lulus dalam ujian. Pelayanan semacam ini pada saat ini tidak pernah dipungut biaya kepada perusahaan penerbangan maupun pada perbengkelan pesawat udara, dengan kata lain biaya yang diperlukan untuk pelayanan tersebut dibebankan pada anggaran belanja negara yang bersumber dari pajak pendapatan.
Dana yang diperoleh dari penyelenggara layanan umum tersebut tidak bersifat menguntungkan (profit-making) melainkan bersifat membiayai diri sendiri (cost recovery) yang dapat dikembalikan lagi kepada pengguna jasa transportasi udara berupa peningkatan fasilitas penerbangan, dapat digunakan untuk memanggil kembali tenaga-tenaga professional yang bekerja di di Thailand, Jepang, Malaysia, Bangladesh, Saudi Arabia dll mencukupi sumber daya manusia yang diperlukan, dapat digunakan untuk meningkatakan pendidikan dan pelatihan, kesejahteraan karyawan tanpa harus membebani belanja negara, meningkatkan kinerja, keselamatan penerbangan, semuanya akan dapat menimbulkan kepercayaan pengguna jasa transportasi udara. Dalam Pasal 66 dikataka ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara pelayanan umum serta proses dan biaya sertifikasi diatur dalam peraturan Menteri, semoga hal ini segera menjadi kenyataan.
3.Pemisahan regulator dengan operator
Tampaknya suasana kebatinan Undang-undang Penerbangan tersebut adalah pemisahan antara peran regulator dan operator. Kegiatan-kegiatan yang dapat membiayai diri sendiri (cost recovery) diserahkan kepada pengusaha (operator) tanpa harus membebani pemerintah, sehingga beban pemerintah terhadap kewajiban menyelenggarakan pelayanan umum ( public service obligation) dapat dikurangi oleh operator dengan private service participant (PSP). Secara historis, di bidang penerbangan, pemisahan peran regulator (public service obligation) dengan operator (private service participant) telah timbul dalam tahun 1991, saat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan disiapkan.
Pada saat itu, pemerintah bermaksud agar bandar udara yang telah mampu membiayai diri sendiri diserahkan kepada swasta (operator), sehingga tidak membebani anggaran belanja negara yang bersumber pada pajak dari rakyat, tetapi saat itu ketua IGGI Drs Pronk mengingatkan agar bandar udara tidak diserahkan kepada swasta, akibat peringatan tersebut rapat di Departemen Keuangan pada saat itu mengarahkan agar memperhatikan peringatan ketua IGGI, Drs Pronk, karena itu lahirlah pasal 26 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan yang pada prinsipnya menyatakan bahwa penyelenggaraan bandar udara untuk umum dan pelayanan navigasi penerbangan dilakukan oleh pemerintah dan pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada badan usaha milik negara yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penjelasannya dikatakan bahwa yang dimaksudkan penyelenggara bandar udara meliputi kegiatan perencanaan, pembangunan, pengoperasian, perawatan dan pengawasan serta pengendaliannya.
Dalam pasal yang sama juga dikatakan bahwa badan hukum Indonesia dapat diikut sertakan menyelenggarakan bandar udara umum, namun demikian harus kerja sama dengan badan usaha milik negara yang bersangkutan. Badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia dapat melakukan pengadaan, pengoperasian dan perawatan fasilitas penunjang bandar udara yang diperlukan untuk memperlancar arus lalu lintas penumpang, kargo, pos di bandar udara seperti usaha-usaha jasa boga, toko, gudang, hangar, parkir kendaraan dan jasa perawatan pada umumnya, karena itu bilamana suasana kebatinan Undang-undang Penerbangan tersebut bermaksud memisahkan peran regulator dengan operator sebenarnya hal yang wajar.
Secara teoritis, Prof.DR P.P.Haanappel, guru besar Mc Gill University, Montreal, Canada mengatakan bahwa penyelenggaraan transportasi udara tergantung dari ideologi negara yang bersangkutan apakah sosialis atau liberal. Bagi negara-negara yang menganut ideologi sosialis seperti China, Uni Soviet, Cuba transportasi udara dikuasai dan diselenggarakan oleh pemerintah seperti Civil Aviaton Administration of China (CAAC) di China, Civil Aviation Administration (CAA) di Uni Soviet semuanya diselenggarakan oleh pemerintah, sedangkan bagi negara yang ideologinya liberal semua perusahaan penebangan diselenggarakan oleh swasta. Di Amerika Serikat tidak terdapat perusahaan penerbangan milik pemerintah, semua diselenggarakan oleh swasta. Bagi negara yang menganut ideologi gabungan penyelenggaraan transportasi udara termasuk penunjangnya diselenggarakan oleh pemerintah bersama-sama dengan swasta misalnya Indonesia, Canada, Inggris dan Belanda. Indonesia pada saat orde lama transportasi udara beserta penunjangnya hanya diselenggarakan oleh pemerintah sekaligus sebagai regulator dan operator. Dikotomi antara ideologi sosial dan liberal telah berakhir dan mencari bentuk-bentuk baru yang bersifat global. Dalam undang-undang penerbangan juga diatur masalah pembukaan langit terbuka yang biasa disebut open sky, sehingga undang-undang tersebut tidak ketinggalan dalam rangka persaingan global.
Secara filosofis, bilamana menjadi penguasa (biasanya regulator), jangan menjadi pengusaha (biasanya operator) dan sebaliknya, namun demikian di dalam tahun 1960’an pemerintah tidak mempunyai dana yang cukup, karenanya saat itu dibentuk Perusahaan Negara yang disingkat “PN”. Pada saat itu “Perusahaan Negara” terdiri dari 3 (tiga) macam masing-masing “Perusahaan Jawatan (PERJAN)” yang memberi pelayanan 75% public service obligation (PSO), dan 25% mencari keuntungan (profit-making), “Perusahaan Umum (PERUM) yang memberi pelayan masing-masing 50% public service obligation (PSO) dan mencari keuntungan (profit-making), dan “Peseroan Terbatas (PT) yang memberi pelayanan atas dasar private service participant 100% untuk mencari keuntungan. Dalam perkembangannya semua Badan Usaha Milik Negara berbentuk PT(Pesero) dan akhir-akhir ini lahir bentuk-bentuk badan hukum lainnya misalnya Badan Hukum Milik Negara (BHMN), Badan Layanan Umum (BLU) dan Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang sedang diributkan.
Dari aspek yuridis, berdasarkan ketentuan Undang-undang Dasar 1945 mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang menguasai hajad hidup orang banyak “dikuasai” oleh negara. Bilamana boleh meminjam pengertian Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Pengaturan Agraria, maka perkataan “menguasai” berarti mengatur penyelenggaraan transportasi udara beserta penunjangnya. Berdasarkan pengertian tersebut pemerintah dalam kapasitasnya sebagai regulator mempunyai kewajiban memberi layanan umum (public service obligation) terhadap (a) kegiatan yang menguasai hajad hidup orang banyak, (b) tidak menguntungkan, (c) dibiayai dengan anggaran belanja dan pengeluaran negara (APBN), (d) tidak memungut biaya dari penerima jasa layanan, (e) tidak bertanggung jawab dalam arti liability, tetapi bertanggung jawab dalam arti responsibility, (f) kedudukan antara pemberi layanan dengan penerima layanan subordinat, (g) berlaku hukum publik yang bersifat memaksa, sedangkan operator memberi layanan swasta (private service participant) terhadap (a) kegiatan yang menguasai hajad hidup orang banyak, (b) kegiatan tersebut menguntungkan, (c) tidak dibiayai dengan anggaran belanja dan pengeluaran negara (APBN), (d) boleh memungut keuntungan dari penerima layanan, (e) bertanggung jawab dalam arti liability dalam hal penerima layanan mengalami kerugian akibat layanan yang diberikan, (e) kedudukan antara pemberi layanan dengan penerima layanan sama tinggi, (f) berlaku hukum perdata yang bersifat sukarela. Berdasarkan kreteria tersebut dapat digunakan untuk menentukan kegiatan mana yang menguasai hajad hidup orang banyak yang dapat diserahkan kepada operator sebagai pengusaha. Di dalam dunia penerbangan bilamana diteliti dengan cermat masih banyak kegiatan-kegiatan yang dapat diserahkan kepada operator, sehingga dapat mengurangi beban pemerintah dengan prinsip bahwa mereka yang menerima layanan, merekalah yang memberi biaya layanan yang dinikmati.
4.Investigasi Kecelakaan Pesawat Udara
Undang-undang Penerbangan juga mengatur investigasi kecelakaan pesawat udara. Menurut Pasal 357 pelaksanaan investigasi kecelakaan pesawat udara dilakukan oleh komite nasional yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden. Dalam pelaksanaan investigasi kecelakaan pesawat udara, komite tersebut independen yang memiliki anggota dipilih berdasarkan standar kompetensi. Komite nasional melakukan investigasi kecelakaan pesawat udara, penelitian, penyelidikan lanjutan, laporan akhir dan memberikan rekomendasi yang segera disampaikan kepada pihak yang terkait dalam rangka mencegah terjadinya kecelakaan dengan sebab yang sama.
Menurut Pasal 358 komite nasional wajib melaporkan segala perkembangan dan hasil investigasi kecelakaan pesawat udara kepada Menteri Perhubungan dan kepada para pihak yang terkait. Sebelum laporan hasil investigasi, konsep laporan akhir harus disampaikan kepada negara tempat pesawat udara didaftarkan, negara tempat perusahaan penerbangan, negara perancang pesawat udara, negara pembuat pesawat udara untuk memperoleh tanggapan, namun demikian keputusan akhir hasil investigasi tetap berada pada komite nasional. Rancangan laporan akhir tersebut harus disampaikan dalam waktu sesingkat-singkatnya dalam waktu 12 (dua belas) bulan terhitung sejak investigasi kecelakaan pesawat udara dilakukan. Dalam hal laporan akhir tersebut belum dapat diselesaikan dalam kurun waktu 12 (dua belas) bulan, maka komite nasional investigasi wajib memberi laporan perkembangan (intermediate report) hasil investigasi setiap bulannya.
Setiap orang dilarang merusak atau menghilangkan bukti-bukti, mengubah letak pesawat udara dan mengembil bagian dari pesawat udara yang mengalami kecelakaan atau barang-barang lainnya yang tersisa akibat dari kecelakaan atau kejadian serious dengan ancaman hukuman pidana atau denda. Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi pejabat yang berwenang atau aparat keamaan di lokasi kecelakaan untuk kepentingan operasi keselamatan penerbangan. Pejabat yang berwenang atau aparat keamanan setempat dapat mengubah letak pesawat udara, memindahkan ke tempat lain, merusak pesawat udara yang mengalami kecelakaan untuk kepentingan keselamatan penerbangan, misalnya kecelakaan pesawat udara yang terjadi di ujung landasan, maka pejabat yang berwenang dapat memindahkan pesawat udara tersebut sebelum diadakan investigasi supaya tidak mengganggu operasi keselamatan penerbangan di bandar udara.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 26 Konvensi Chicago 1944, komite nasional mempunyai kewajiban untuk investigasi kecelakaan pesawat udara nasional maupun asing yang terjadi di Indonesia. Dalam komite nasional melakukan investigasi kecelakaan pesawat udara asing yang mengalami kecelakaan di Indonesia, maka wakil resmi dari negara (accredited representative) tempat pesawat udara didaftarkan, negara tempat perusahaan penerbangan (operator), negara tempat pesawat udara dirancang dan negara tempat pembuat pesawat udara dapat diikut sertakan dalam investigasi kecelakaan pesawat udara sepanjang hukum nasional mengizinkan. Kedatangan mereka diperlukan, terutama sekali wakil resmi dari negara tempat pesawat udara didaftarkan karena semua dokumen yang berkenaan dengan pesawat udara yang diperlukan tersimpan, sedangkan negara-negara lain yang penting kehadirannya untuk mencegah terjadinya kecelakaan dengan sebab yang sama. Dalam hal pesawat udara Indonesia mengalami kecelakaan di luar wilayah Republik Indonesia, maka komite nasional wajib menghadiri dalam invenstigasi kecelakaan sebagai peninjau dan dapat membantu dokumen-dokumen yang diperlukan untuk investigasi.
Orang perseorangan wajib memberikan keterangan atau bantuan jasa keahlian untuk kelancaran investigasi kecelakaan yang dibutuhkan oleh komite nasional, tidak hanya itu saja semua institusi baik otoritas bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha bandar udara, penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan, dan/atau perusahaan penerbangan wajib membantu kelancaran investigasi kecelakaan pesawat udara, sepanjang dapat melakukan bantuan, sesuai dengan kemampuan mereka.
Bilamana terjadi kecelakaan pesawat udara di luar daerah lingkungan kerja bandar udara, pejabat yang berwenang atau aparat keamanan dilokasi kecelakaan pesawat udara wajib melakukan pengamanan terhadap pesawat udara yang mengalami kecelakaan untuk melindungi personel pesawat udara dan penumpangnya, mencegah terjadinya tindakan yang dapat mengubah letak pesawat udara, merusak dan/atau mengambil barang-barang dari pesawat udara yang mengalami kecelakaan. Tindakan-tindakan tersebut berlangsung terus sampai dengan berakhirnya pelaksanaan investigasi lokasi kecelakaan oleh komite nasional.
Masalah lain yang perlu dijelaskan di sini adalah penggunaan hasil investigasi kecelakaan pesawat udara sebagai alat bukti dalam proses peradilan, karena bilamana hasil investigasi digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan akan bertentangan dengan maksud dan tujuan investigasi kecelakaan pesawat udara. Berbicara mengenai hasil investigasi kecelakaan pesawat udara, sering terjadi kontraversial di dalam masyarakat. Kontraversial demikian tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi dalam forum internasional di bawah naungan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) maupun dinegara-negara anggota ICAO seperti di Amerika Serikat dan Belanda.
Dalam hubungannya dengan hasil investigasi sebagai alat bukti dalam proses peradilan perdata maupun pidana, Pasal 359 secara tegas mengatakan bahwa hasil investigasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan, kecuali informasi yang tidak tergolong sebagai informasi rahasia dapat diumumkan kepada masyarakat. Informasi yang tergolong rahasia (non-disclosure records) antara lain pernyataan dari orang-orang yang diperoleh dalam proses investigasi, rekaman atau transkrip komunikasi antara orang-orang yang terlibat di dalam pengoperasian pesawat udara, informasi mengenai kesehatan atau informasi pribadi dari orang-orang yang terlibat dalam kecelakaan atau kejadian, rekaman suara di ruang kemudi (cockpit voice recorder) dan catatan-catan kata demi kata (transkrip) dari rekaman suara tersebut, rekaman dan transkrip dari pembicaraan petugas pelayanan lalu lintas penerbangan (air traffic services) dan pendapat yang disampaikan dalam analisis informasi termasuk rekaman informasi penerbangan (flight data recorders), karena itu rekaman yang muncul di internet dalam kasus kecelakaan pesawat udara Adam Air beberapa waktu yang lalu dapat digolongkan rahasia yang tidak dapat dipublikasikan.
Masalah kerahasian hasil investigasi juga dapat ditemui di dalam Annex 13 Konvensi Chicago 1944, hukum nasional Amerika Serikat, Belanda dan Jepang. Menurut Annex 13 Konvensi Chicago 1944, apabila negara yang melakukan investigasi kecelakaan pesawat udara berpendapat setiap penyebar luasan hasil investigasi akan mempunyai dampak negatif terhadap tujuan investigasi kecelakaan pesawat udara serta investigasi yang akan datang, maka negara tersebut tidak perlu menyebar luaskan hasil investigasi tersebut, sedangkan di Amerika Serikat berdasarkan Airlines Deregulation Act of 1977 dan International Air Transport of 1977, komisi penerbangan (Aviation Board) mempunyai wewenang untuk menentukan informasi mana yang boleh diumumkan kepada masyarakat maupun dokumen atau informasi mana yang tidak boleh diumumkan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi Free Flow Information Act of 1966 dalam transparensi masyarakat.
Lahirnya Free Flow Information Act of 1966 tersebut jelas akan berpengaruh terhadap informasi dunia penerbangan yang ditangani oleh Department of Transport (DOT) yang pelaksanaannya dilakukan oleh Federal Aviation Adminstration (FAA) dan National Transportation Safety Board (NTSB). Federal Aviation Administration (FAA) secara yuridis mempunyai wewenang megeluarkan peraturan perundang-undangan yang menjamin keselamatan penerbangan tidak lepas dari berlakunya Free Flow Information Act of 1966 terutama dalam hal pemberi tahuan sertifikat kecakapan awak pesawat udara maupun sertifikat kelaikan udara. Demikian pula CAB sebelum dibubarkan juga tidak lepas dengan berlakunya Free Flow Information Act of 1966 terutama pemberian izin transportasi udara perusahaan penerbangan.
Di samping kewajiban menyebar luaskan informasi tersebut seluas-luasnya kepada masyarakat umum dalam hal-hal tertentu, Free Flow Information Act of 1966 juga mengharuskan untuk mempertimbangkan kepentingan umum lainnya. Berdasarkan ketentuan tersebut, pemerintah atau badan-badan publik lainnya berhak menolak setiap permohonan informasi oleh masyarakat umum. Permohonan informasi tersebut dapat ditolak apabila pemerintah atau badan-badan publik lainnya tersebut menyangkut informasi berkenaan dengan keamanan nasional, internal pemerintah atau badan-badan publik lainnya, masalah yang dilindungi oleh undang-undang dari keterbukaan kepada umum, rahasia perdagangan, rahasia yang diberikan oleh pemerintah atau badan-badan publik lainnya, khusus masalah internal pemerintah, menyangkut pribadi yang tidak dikehendaki oleh orang yang bersangkutan, mengenai catatan-catatan penegak hukum, mengenai catatan-catatan pemeriksaan bank dan lembaga-lembaga keuangan lainnya.
Dokumen-dokumen lain yang termasuk tidak dapat diberikan adalah dokumen-dokumen internal investigasi, laporan Federal Aviation Administration yang menyangkut pernyataan saksi mata, informasi-informasi lain selama investigasi, bahan-bahan yang akan digunakan untuk proses peradilan dll. NTSB dalam proses investigasi kecelakaan pesawat udara mengembangkan formulasi dokumen-dokumen yang diperoleh untuk menentukan penyebab kecelakaan pesawat udara. Mengingat dokumen-dokumen tersebut sangat erat kaitannya dengan gugatan yang diajukan oleh pengacara, asuransi, pemilik pesawat udara yang mengalami kecelakaan maupun berbagai instansi pemerintah atau badan-badan publik lainnya bukanlah hal yang mustahil banyak permintaan dokumen tersebut.
Di Belanda juga terdapat Freedom of Information Act of 1978 yang mengharuskan untuk menyebar luaskan informasi dalam rangka transparensi kepada masyarakat, tetapi Komisi (Avation Board) yang dibentuk oleh Menteri Transport diberi wewenang untuk filter dokumen mana yang boleh diumumkan kepada masyarakat. Tidak semua dokumen hasil investigasi kecelakaan pesawat udara dapat diumumkan kepada masyarakat, apalagi sebagai alat bukti dalam proses peradilan. Di dalam hasil investigasi kecelakaan tersebut terdapat berbagai data teknis, operasi, pernyataan kesaksian dan data lain yang sangat penting, yang tidak boleh diumumkan kepada khalayak ramai. Dokumen yang tidak boleh diumumkan oleh Aviaton Board kepada masyarakat adalah dokumen yang berkenaan dengan kerahasiaan perusahaan, catatan-catatan kesehatan, informasi-informasi yang disampaikan pada saat investigasi dll. Kewenangan Aviation Board untuk menahan atau mengumumkan dokumen hasil investigasi kecelakaan pesawat udara tersebut berdasarkan ketentuan undang-undang.
Berdasarkan kewanangan tersebut Aviation Board dapat mencegah penyebar luasan hasil investigasi kecelakaan pesawat udara yang besifat rahasia tanpa bertentangan dengan ketentuan Freedom of Information Act of 1978 yang mengharuskan untuk mengumumkan kepada khalayak ramai. Orang yang terlibat dalam kecelakaan dan berhak untuk mengadakan konsultasi untuk memperoleh keputusan yang adil dalam proses pengadilan. Mereka mempunyai kesempatan untuk menjelaskan kepada Aviation Board yang berhak untuk menentukan apakah dokumen tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti dipengadilan atau tidak.
Berdasarkan hukum nasional Jepang tidak ada jaminan hukum bahwa hasil investigasi kecelakaan pesawat udara tidak digunakan untuk bukti dalam proses pengadilan baik hukum publik maupun perdata.Mengingat masing-masing instansi mempunyai wewenang yang berbeda-beda, maka dalam pelaksanaan investigasi diadakan kordinasi antara Aircraft Accident Investigation Board dengan polisi Metropolitan. Dalam kordinasi tersebut disepakati bahwa inspeksi kelokasi kecelakaan pesawat udara diadakan konsultasi satu terhadap yang lain, outopsyAircraft Accident Investigation Board, semua alat bukti yang secara pisik diperlukan oleh polisi dan Aircraft Accident Investigation Board dikuasai oleh polisi sebaliknya polisi memberi wewenang penuh pada analisis Flight Data Ecorder (FDR) dan Cockpit Voice Recorder (CVR). menjadi tanggung jawab polisi tetapi dalam hal-hal tertentu diadakan kordinasi dengan
Komite nasional independen yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden tersebut, di samping melakukan investigasi kecelakaan pesawat udara juga melakukan penyelidikan lanjutan mengenai penyebab setiap kecelakaan pesawat udara. Penyelidikan lanjutan dimaksudkan suatu proses untuk memberi perlindungan dan kepastian hukum bagi personel penerbangan atas tindakan, keputusan atau pengabaian yang dilakukan berdasarkah hasil pelatihan dan pengalamannya (actions, omissions or decisions taken by them that are commencsurate with their experience and training) serta penentuan dari sisi profesi perilaku mana yang dapat diterima atau yang tidak dapat ditoleransi (the role of domain expertise be in judging whether is acceptable or unacceptable). Dalam pelaksanaan penyelidikan, komite nasional membentuk majelis profesi penerbangan untuk penegakan etika profesi, mediasi dan penafsiran penerapan regulasi penerbangan.
Majelis profesi penerbangan yang dibentuk oleh komite nasional tersebut mempunyai tugas (a) menegakkan etika profesi dan kompetensi di bidang penerbangan, (b) melaksanakan mediasi antara penyedia jasa penerbangan, personel dan pengguna jasa penerbangan, dan (c) menafsirkan penerapan regulasi di bidang penerbangan. Penegakan etika profesi dan kompetensi di bidang penerbangan tersebut mempunyai arti sangat penting untuk menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum, sehingga mereka dapat dilindungi bilaman telah menjalankan tugas sebagaimana layakanya seorang profesional, demikian pula tugas mediasi antara penyedia jasa transportasi dengan penggunanya perlu dilakukan untuk menjamin keseimbangan keduanya, sedangkan tugas penafsiran penerapan regulasi penerbangan demikian mempunyai peran yang sangat penting, mengingat regulasi-regulasi penerbangan yang selalu mengacu kepada rekomendasi Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) tersebut mempunyai pengertian-pengertian yang kadang-kadang sangat berbeda dengan regulasi selain penerbangan.
Majelis profesi penerbangan sebagaimana dibentuk oleh komite nasional tersebut paling sedikit berasal dari unsur profesi, pemerintah dan masyarakat yang kompeten dibidang hukum, pesawat udara, navigasi penerbangan, bandar udara, kedokteran penerbangan dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Berdasarkan ketentuan tersebut masih terbuka profesi-profesi penerbangan lainnya bilamana diperlukan misalnya meteorologi penerbangan, pencarian dan pertolongan (search and rescue). Majelis penerbangan yang mempunyai tugas tersebut diberi wewenang memberikan rekomendasi kepada Menteri Perhubungan untuk pengenaan sanksi administratif atau penyidikan lanjut oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), menetapkan keputusan dalam sengketa para pihak dampak dari kecelakaan atau kejadian serious terhadap pesawat udara dan memberikan rekomendasi terhadap penerapan regulasi penerbangan. Lebih lanjut mengenai penyidikan lanjutan diatur dengan peraturan Menteri.
5.Otoritas Bandar Udara
Undang-undang Penerbangan tersebut juga mengatur otoritas bandar udara. Menurut Pasal 227 Menteri Perhubungan dapat membentuk satu atau beberapa otoritas bandar udara yang terdekat yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri. Dalam pelaksanaan tugasnya, otoritas bandar udara berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Otoritas bandar udara disamping mempunyai tugas membantu kelancaran investigasi kecelakaan pesawat udara sebagaimana disebutkan di atas, juga mempunyai tugas dan tanggung jawab (a) menjamin keselamatan, keamanan, kelancaran dan kenyamanan di bandar udara, (b) memastikan terlaksana dan terpenuhinya ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan, kelancaran dan kenyamanan di bandar udara, (c) menjamin terpeliharanya pelestarian lingkungan bandar udara, (d) menyelesaikan masalah-masalah yang dapat mengganggu kelancaran kegiatan operasional bandar udar yang dianggap tidak dapat diselesaikan oleh instansi lainnya, (e) melaporkan kepada pimpinan tertingginya dalam hal pejabat instansi di bandar udara, melalaikan tugas dan tanggung jawabnya serta mengabaikan dan/atau tidak menjalankan kebijakan dan peraturan yang ada di bandar udara, (f) melaporkan pelaksaan tugas dan tanggung jawabnya kepada Menteri Perhubungan.
Otoritas bandar udara sebagaimana dibentuk oleh Menteri Perhubungan tersebut mempunyai wewenang (a) mengkoordinasikan kegiatan pemerintahan di bandar udara yang bersangkutan, (b) mengatur, mengendalikan dan mengawasi palaksanaan ketentuan keselamatan penerbangan, keamanan penerbangan, kelancaran serta kenyamanan penerbangan di bandar udara tersebut, (c) mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pelaksanaan pelestarian lingkungan, (d) mengatur, mengendalikan, dan mengawasi penggunaan lahan daratan dan/atau perairan bandar udara sesuai dengan rencana induk bandar udara, (e) mengatur, mengendalikan, dan mengawasi penggunaan kawasan keselamatan operasi penerbangan dan daerah lingkungan kerja bandar udar serta daerah lingkungan kepentingan bandar udara, (f) mengatur, mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan standar kinerja operasional pelayanan jasa di bandar udara, dan (g) memberikan sanksi administratif kepada badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, dan/atau badan usaha liannya yang tidak memenuhi ketentuan keselamatan, keamanan, kelancaran serta kenyamanan penerbangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dijelaskan bahwa aparat otoritas bandar udara merupakan pegawai negeri sipil yang memiliki kompetensi di bidang penerbangan sesuai dengan standar dan kretaria yang ditetapkan Menteri Perhubungan yang lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Menteri
6.Single Air Traffic Provider
Pelayanan navigasi penerbangan pada saat ini dilakukan oleh PT (Pesero) Angkasa Pura I dan II, Unit Pelaksana Teknis (UPT) dibawah Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, TNI-AU dan Batam. Pelayanan navigasi penerbangan di dalam satu negara berdaulat mustinya dilakukan dalam satu pelayanan, sehingga terdapat keseragaman pelayanan, fasilitas, maupun peralatannya. Menyadari hal tersebut Undang-undang Penerbangan yang baru disahkan, membuka kemungkinan penyelenggaraan dalam satu tangan yang dikenal dengan istilah single air traffic services provider.
Pasal 271 menyatakan bahwa pelayanan navigasi penerbangan menjadi tanggung jawab pemerintah terhadap pesawat udara yang melakukan penerbangan di wilayah kedaulatan Republik Indonesia, untuk maksud tersebut pemerintah membentuk satu lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan. Pelayanan navigasi penerbangan tersebut harus mengutamakan keselamatan penerbangan, tidak berorientasi kepada keuntungan, secara finansial dapat mandiri dan biaya yang diterima dari pemberian pelayanan dikembalikan lagi untuk biaya investasi dan peningkatan operasional penerbangan. Lembaga penyelenggara penerbangan yang dibentuk bertanggung jawab kepada Menteri Perhubungan.
Lembaga penyelenggara navigasi penerbangan wajib memberikan pelayanan navigasi penerbangan kepada pesawat udara, sejak kontak komunikasi pertama sampai dengan kontak komunikasi terakhir antara kapten penerbang dengan petugas atau fasilitas navigasi penerbangan. Guna memenuhi kewajiban pelayanan navigasi penerbangan tersebut, penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan harus memiliki standar prosedur operasi (standard operating procedures), mengoperasikan dan memelihara keandalan fasilitas navigasi penerbangan sesuai dengan standar, mempekerjakan personel navigasi penerbangan yang memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi, dan memiliki mekanisme pengawasan dan pengendalian jaminan kualitas pelayanan.
Dalam hal-hal tertentu penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan berhak mengalihkan jalur penerbangan suatu pesawat udara, helikopter atau pesawat udara sipil jenis tertentu yang tidak memenuhi persyaratan navigasi penerbangan yang pelaksanaan lebih lanjut tentang pengalihan tersebut akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Perhubungan. Setiap unit penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan wajib memiliki sertifikat pelayanan navigasi penerbangan yang diberikan oleh Menteri Perhubungan. Unit-unit pelayanan navigasi penerbangan tersebut terdiri dari unit pelayanan navigasi penerbangan di bandar udara, unit pelayanan navigasi penerbangan pendekatan (approach) dan unit pelayanan navigasi penerbangan jelajah.
Pemberian pelayanan lalu lintas penerbangan bertujuan untuk mencegah terjadinya tabrakan antar pesawat udara di udara, mencegah terjadinya tabrakan antar pesawat udara atau pesawat udara dengan halangan (obstacles) di daerah manufer, memperlancar dan menjaga keteraturan arus lalu lintas penerbangan, memberikan petunjuk dan informasi yang berguna untuk keselamatan penerbangan dan effisiensi penerbangan, dan memberikan notifikasi kepada organisasi terkait untuk bantuan pencarian dan pertolongan (search and rescue).(air traffic control services), pelayanan informasi penerbangan (flight information services), pelayana saran lalu lintas penerbangan (air traffic advisory service) dan pelayanan kesiagaan (alerting service). Penetapan jenis-jenis pelayanan tersebut dengan mempertimbangkan jenis lalu lintas penerbangan, kapadatan arus lalu lintas penerbangan, kondisi sistem teknologi dan topografi serta fasilitas dan kelengkapan navigasi penerbangan di dalam pesawat udara. Dalam penyelenggaraan navigasi penerbangan terdapat berbagai pelayanan yang diberikan misalnya pelayanan pemanduan lalu lintas penerbangan
Seperti halnya dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992, dalam undang-undang yang baru juga mengatur kewajiban memberi pelayanan navigasi penerbangan terhadap semua pesawat udara yang melakukan penerbangan di wilayah Republik Indonesia. Setiap pesawat udara yang memperoleh pelayanan navigasi penerbangan dikenakan biaya pelayanan yang ditetapkan dengan mempertimbangkan tingkat pelayanan navigasi penerbangan yang diberikan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, prosedur pelayanan navigasi penerbangan serta biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan.
Dengan terbentuknya lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan tersebut, merupakan satu langkah maju guna meningkatkan pelayanan penerbangan, memelihara fasilitas navigasi penerbangan tanpa harus membebani anggaran pendapatan dan belanja negara, terdapat keseragaman pelayanan navigasi penerbangan, meningkatkan kesejahteraan para karyawan yang pada gilirannya dapat meningkatkan keselamatan penerbangan.
1 Dosen STMT-Trisakti, Universitas Tarumanagara
Kamis, 01 Januari 2009 06:24
(Bagian Pertama)
Oleh
DR H.K.Martono SH LLM 1
1.Pendahuluan
Undang-undang Penerbangan yang disahkan pada tanggal 17 Desember 2008 sangat menjanjikan terhadap pertumbuhan transportasi udara di Indonesia, karena undang-undang tersebut secara komprehensif mengatur pengadaan pesawat udara sebagaimana diatur dalam konvensi Cape Town 2001, berlakunya undang-undang secara extra-teritorial, kedaulatan atas wilayah udara Indonesia, pelanggaran wilayah kedaulatan yang lebih dipertegas, produksi pesawat udara, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, kelaikudaraan dan pengoperasian pesawat udara, keselamatan dan keamanan di dalam pesawat udara, asuransi pesawat udara, independensi investigasi kecelakaan pesawat udara, pembentukan majelis profesi penerbangan, lembaga penyelenggara pelayanan umum yang sering disebut badan palayan umum (BLU), pengadaan pesawat udara sebagaimana diatur di dalam Konvensi Cape Town 2001, berbagai jenis angkutan udara baik niaga maupun bukan niaga dalam negeri maupun luar negeri, kepemilikan modal harus single majority tetap berada pada warga negara Indonesia , perusahaan penerbangan minimum mempunyai 10 (sepuluh) pesawat udara, 5 lima dimiliki dan 5 dikuasai, komponen tarif yang dihitung berdasarkan tarif jarak, pajak, iuran wajib asuransi dan biaya tambahan, pelayanan bagi penyandang cacat, pengangkutan barang-barang berbahaya (dangerous goods), ekspedisi dan keagenan, tanggung jawab pengangkut, konsep tanggung jawab pengangkut, asuransi tanggung jawab pengangkut, tanggung jawab pengangkut terhadap pihak ketiga (third parties liability), tatanan kebandarudaraan baik lokasi maupun persyaratannya, obstacles, perubahan iklim yang menimbulkan panas bumi, sumber daya manusia baik di bidang operasi penerbangan, teknisi bandar udara maupun navigasi penerbangan, fasilitas navigasi penerbangan, otoritas bandar udara, pelayanan bandar udara, keamanan penerbangan, lembaga penyelenggara palayanan navigasi penerbangan (single air service provider), penegakan hukum, penerapan sanksi administratif yang selama ini tidak diatur, budaya keselamatan penerbangan, penanggulangan tindakan melawan hukum dan berbagai ketentuan baru guna mendukung keselamatan transportasi udara nasional maupun internasional. Jiwa dari undang-undang ini bermaksud memisahkan regulator dengan operator sehingga tugas dan tanggung jawab masing-masing jelas. Undang-undang ini mengalami perubahan yang signifikan, sebab semula hanya 103 pasal dalam perkembangannya membengkak menjadi 466 pasal. Tulisan ini bermaksud menguraikan lembaga penyelenggara layanan umum yang biasa dikenal dengan Badan Layanan Umum (BLU), pemisahan antara regulator dengan operator, investigasi kecelakaan pesawat udara, otoritas bandar udara dan single ATS Provider sebagai berikut.
2.Lembaga Penyelenggara Pelayanan Umum
Dalam Pasal 64 Undang-undang Penerbangan diatur lembaga penyelenggara pelayanan umum yang sering dikenal sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Dalam tulisan penulis yang disampaikan pada diskusi keselamatan penerbangan yang dilangsungkan di Ujung Pandang tanggal 4 Desember 2008 yang lalu telah diungkapkan perlunya pembentukan badan pelayanan umum. Badan ini mempunyai peran yang sangat penting dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia yang pada akhirnya akan meningkatkan keselamatan penerbangan. Semua pihak mengetahui bahwa sumber daya manusia, khususnya tenaga penerbang, teknisi dan operasional baik kuantitas maupun kualitas tidak memadai dibandingkan dengan pertumbuhan transportasi udara di Indonesia, sementara itu pada saat ini terdapat tidak kurang dari 225 penerbang, teknisi maupun operasional yang bekerja di Thailand, Jepang, Malaysia, Bangladesh, Saudi Arabia dll karena bekerja di Indonesia tidak memperoleh penghasilan yang memadai. Mereka bekerja di perusahaan penerbangan asing memperoleh pendapatan berkisar dari US$ 4.500 sampai dengan US$ 18,000 tergantung dari pengalaman dan rating yang dimiliki.
Tenaga professional di bidang penerbangan merupakan aset perusahaan penerbangan yang sangat menentukan kelangsungan hidup perusahaan. Kehilangan pesawat udara dapat segera diganti dengan pesawat udara yang baru, bilamana perusahaan penerbangan tidak mempunyai dana yang cukup, perusahaan penerbangan dapat meminjam dana kepada penyedia dana, tetapi berbeda dengan tenaga professional seperti penerbang dan teknisi pesawat udara. Untuk memperoleh sumber daya manusia tertentu yang memenuhi kebutuhan, tidak cukup dengan tersedianya dana, melainkan memerlukan pengalaman yang panjang, pendidikan yang lama, biaya yang mahal dan kemampuannya.
Lahirnya badan layanan umum dapat menciptakan dana yang diperoleh dari perusahaan penerbangan maupun perbengkelan yang dilayani. Pada saat ini perusahaan penerbangan maupun perbengkelan menawarkan kepada Pemerintah, untuk meng-audit dan perusahaan penerbangan dan perbengkelan tersebut bersedia membayar pelayanan yang diberikan, namun demikian Direktorat Jenderal Perhubungan Udara tidak bersedia menerima pembayaran yang ditawarkan oleh perusahaan penerbangan maupun perbengkelan karena tidak ada dasar hukumnya. Selama ini perusahaan penerbangan maupun perbengkelan pesawat udara menerima layanan audit tidak dipungut bayaran oleh pemerintah, dengan kata lain memperoleh pelayanan gratis artinya pelayanan tersebut dibayar oleh masyarakat yang dibebankan pada pajak rakyat. Secara filosofis terdapat ketidak-adilan, karena masyarakat yang tidak menikmati manfaat jasa transportasi udara, tetapi dibebani untuk membiayai audit terhadap perusahaan penerbangan. Dengan lahirnya lembaga pelayanan umum tersebut, maka biaya layanan audit dapat dibebankan kepada perusahaan penerbangan yang selanjutnya dapat dibebankan kepada pengguna jasa transportasi udara, wajar dibebani biaya audit karena mereka yang menikmati jasa transportasi udara.
Lembaga layanan umum tersebut antara lain pemberian sertifikat kelaikudaraan setelah lulus pemeriksaan dan pengujian kepada setiap pesawat udara yang dioperasikan, sertifikat operator pesawat udara (air operator certificate) kepada badan hukum Indonesia yang mengoperasikan pesawat udara sipil untuk angkutan udara niaga, sertifikat pengoperasian pesawat udara (operating certificate) kepada orang atau badan hukum Indonesia yang mengoperasikan pesawat udara unutk angkutan bukan niaga, pemberian lisensi ahli perawatan pesawat udara, perawatan dan pemeriksaan pesawat udara, pemeriksaan dan perawatan (maintenance manuals) terkini yang dikeluarkan oleh pabrikan, kendali mutu (quality assurance manuals), untuk menjamin dan mempertahankan kinerja perawatan pesawat udara, mesin, baling-baling dan komponennya secara berkelanjutan, suku cadang untuk mempertahankan keandalan dan kelaikudaraan berkelanjutan dan system manajemen keselamatan penerbangan, pemberian lisensi atau sertifikat kompeten setelah memenuhi persyaratan administrative, sehat jasmani dan rohani, dan lulus dalam ujian. Pelayanan semacam ini pada saat ini tidak pernah dipungut biaya kepada perusahaan penerbangan maupun pada perbengkelan pesawat udara, dengan kata lain biaya yang diperlukan untuk pelayanan tersebut dibebankan pada anggaran belanja negara yang bersumber dari pajak pendapatan.
Dana yang diperoleh dari penyelenggara layanan umum tersebut tidak bersifat menguntungkan (profit-making) melainkan bersifat membiayai diri sendiri (cost recovery) yang dapat dikembalikan lagi kepada pengguna jasa transportasi udara berupa peningkatan fasilitas penerbangan, dapat digunakan untuk memanggil kembali tenaga-tenaga professional yang bekerja di di Thailand, Jepang, Malaysia, Bangladesh, Saudi Arabia dll mencukupi sumber daya manusia yang diperlukan, dapat digunakan untuk meningkatakan pendidikan dan pelatihan, kesejahteraan karyawan tanpa harus membebani belanja negara, meningkatkan kinerja, keselamatan penerbangan, semuanya akan dapat menimbulkan kepercayaan pengguna jasa transportasi udara. Dalam Pasal 66 dikataka ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara pelayanan umum serta proses dan biaya sertifikasi diatur dalam peraturan Menteri, semoga hal ini segera menjadi kenyataan.
3.Pemisahan regulator dengan operator
Tampaknya suasana kebatinan Undang-undang Penerbangan tersebut adalah pemisahan antara peran regulator dan operator. Kegiatan-kegiatan yang dapat membiayai diri sendiri (cost recovery) diserahkan kepada pengusaha (operator) tanpa harus membebani pemerintah, sehingga beban pemerintah terhadap kewajiban menyelenggarakan pelayanan umum ( public service obligation) dapat dikurangi oleh operator dengan private service participant (PSP). Secara historis, di bidang penerbangan, pemisahan peran regulator (public service obligation) dengan operator (private service participant) telah timbul dalam tahun 1991, saat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan disiapkan.
Pada saat itu, pemerintah bermaksud agar bandar udara yang telah mampu membiayai diri sendiri diserahkan kepada swasta (operator), sehingga tidak membebani anggaran belanja negara yang bersumber pada pajak dari rakyat, tetapi saat itu ketua IGGI Drs Pronk mengingatkan agar bandar udara tidak diserahkan kepada swasta, akibat peringatan tersebut rapat di Departemen Keuangan pada saat itu mengarahkan agar memperhatikan peringatan ketua IGGI, Drs Pronk, karena itu lahirlah pasal 26 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan yang pada prinsipnya menyatakan bahwa penyelenggaraan bandar udara untuk umum dan pelayanan navigasi penerbangan dilakukan oleh pemerintah dan pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada badan usaha milik negara yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penjelasannya dikatakan bahwa yang dimaksudkan penyelenggara bandar udara meliputi kegiatan perencanaan, pembangunan, pengoperasian, perawatan dan pengawasan serta pengendaliannya.
Dalam pasal yang sama juga dikatakan bahwa badan hukum Indonesia dapat diikut sertakan menyelenggarakan bandar udara umum, namun demikian harus kerja sama dengan badan usaha milik negara yang bersangkutan. Badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia dapat melakukan pengadaan, pengoperasian dan perawatan fasilitas penunjang bandar udara yang diperlukan untuk memperlancar arus lalu lintas penumpang, kargo, pos di bandar udara seperti usaha-usaha jasa boga, toko, gudang, hangar, parkir kendaraan dan jasa perawatan pada umumnya, karena itu bilamana suasana kebatinan Undang-undang Penerbangan tersebut bermaksud memisahkan peran regulator dengan operator sebenarnya hal yang wajar.
Secara teoritis, Prof.DR P.P.Haanappel, guru besar Mc Gill University, Montreal, Canada mengatakan bahwa penyelenggaraan transportasi udara tergantung dari ideologi negara yang bersangkutan apakah sosialis atau liberal. Bagi negara-negara yang menganut ideologi sosialis seperti China, Uni Soviet, Cuba transportasi udara dikuasai dan diselenggarakan oleh pemerintah seperti Civil Aviaton Administration of China (CAAC) di China, Civil Aviation Administration (CAA) di Uni Soviet semuanya diselenggarakan oleh pemerintah, sedangkan bagi negara yang ideologinya liberal semua perusahaan penebangan diselenggarakan oleh swasta. Di Amerika Serikat tidak terdapat perusahaan penerbangan milik pemerintah, semua diselenggarakan oleh swasta. Bagi negara yang menganut ideologi gabungan penyelenggaraan transportasi udara termasuk penunjangnya diselenggarakan oleh pemerintah bersama-sama dengan swasta misalnya Indonesia, Canada, Inggris dan Belanda. Indonesia pada saat orde lama transportasi udara beserta penunjangnya hanya diselenggarakan oleh pemerintah sekaligus sebagai regulator dan operator. Dikotomi antara ideologi sosial dan liberal telah berakhir dan mencari bentuk-bentuk baru yang bersifat global. Dalam undang-undang penerbangan juga diatur masalah pembukaan langit terbuka yang biasa disebut open sky, sehingga undang-undang tersebut tidak ketinggalan dalam rangka persaingan global.
Secara filosofis, bilamana menjadi penguasa (biasanya regulator), jangan menjadi pengusaha (biasanya operator) dan sebaliknya, namun demikian di dalam tahun 1960’an pemerintah tidak mempunyai dana yang cukup, karenanya saat itu dibentuk Perusahaan Negara yang disingkat “PN”. Pada saat itu “Perusahaan Negara” terdiri dari 3 (tiga) macam masing-masing “Perusahaan Jawatan (PERJAN)” yang memberi pelayanan 75% public service obligation (PSO), dan 25% mencari keuntungan (profit-making), “Perusahaan Umum (PERUM) yang memberi pelayan masing-masing 50% public service obligation (PSO) dan mencari keuntungan (profit-making), dan “Peseroan Terbatas (PT) yang memberi pelayanan atas dasar private service participant 100% untuk mencari keuntungan. Dalam perkembangannya semua Badan Usaha Milik Negara berbentuk PT(Pesero) dan akhir-akhir ini lahir bentuk-bentuk badan hukum lainnya misalnya Badan Hukum Milik Negara (BHMN), Badan Layanan Umum (BLU) dan Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang sedang diributkan.
Dari aspek yuridis, berdasarkan ketentuan Undang-undang Dasar 1945 mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang menguasai hajad hidup orang banyak “dikuasai” oleh negara. Bilamana boleh meminjam pengertian Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Pengaturan Agraria, maka perkataan “menguasai” berarti mengatur penyelenggaraan transportasi udara beserta penunjangnya. Berdasarkan pengertian tersebut pemerintah dalam kapasitasnya sebagai regulator mempunyai kewajiban memberi layanan umum (public service obligation) terhadap (a) kegiatan yang menguasai hajad hidup orang banyak, (b) tidak menguntungkan, (c) dibiayai dengan anggaran belanja dan pengeluaran negara (APBN), (d) tidak memungut biaya dari penerima jasa layanan, (e) tidak bertanggung jawab dalam arti liability, tetapi bertanggung jawab dalam arti responsibility, (f) kedudukan antara pemberi layanan dengan penerima layanan subordinat, (g) berlaku hukum publik yang bersifat memaksa, sedangkan operator memberi layanan swasta (private service participant) terhadap (a) kegiatan yang menguasai hajad hidup orang banyak, (b) kegiatan tersebut menguntungkan, (c) tidak dibiayai dengan anggaran belanja dan pengeluaran negara (APBN), (d) boleh memungut keuntungan dari penerima layanan, (e) bertanggung jawab dalam arti liability dalam hal penerima layanan mengalami kerugian akibat layanan yang diberikan, (e) kedudukan antara pemberi layanan dengan penerima layanan sama tinggi, (f) berlaku hukum perdata yang bersifat sukarela. Berdasarkan kreteria tersebut dapat digunakan untuk menentukan kegiatan mana yang menguasai hajad hidup orang banyak yang dapat diserahkan kepada operator sebagai pengusaha. Di dalam dunia penerbangan bilamana diteliti dengan cermat masih banyak kegiatan-kegiatan yang dapat diserahkan kepada operator, sehingga dapat mengurangi beban pemerintah dengan prinsip bahwa mereka yang menerima layanan, merekalah yang memberi biaya layanan yang dinikmati.
4.Investigasi Kecelakaan Pesawat Udara
Undang-undang Penerbangan juga mengatur investigasi kecelakaan pesawat udara. Menurut Pasal 357 pelaksanaan investigasi kecelakaan pesawat udara dilakukan oleh komite nasional yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden. Dalam pelaksanaan investigasi kecelakaan pesawat udara, komite tersebut independen yang memiliki anggota dipilih berdasarkan standar kompetensi. Komite nasional melakukan investigasi kecelakaan pesawat udara, penelitian, penyelidikan lanjutan, laporan akhir dan memberikan rekomendasi yang segera disampaikan kepada pihak yang terkait dalam rangka mencegah terjadinya kecelakaan dengan sebab yang sama.
Menurut Pasal 358 komite nasional wajib melaporkan segala perkembangan dan hasil investigasi kecelakaan pesawat udara kepada Menteri Perhubungan dan kepada para pihak yang terkait. Sebelum laporan hasil investigasi, konsep laporan akhir harus disampaikan kepada negara tempat pesawat udara didaftarkan, negara tempat perusahaan penerbangan, negara perancang pesawat udara, negara pembuat pesawat udara untuk memperoleh tanggapan, namun demikian keputusan akhir hasil investigasi tetap berada pada komite nasional. Rancangan laporan akhir tersebut harus disampaikan dalam waktu sesingkat-singkatnya dalam waktu 12 (dua belas) bulan terhitung sejak investigasi kecelakaan pesawat udara dilakukan. Dalam hal laporan akhir tersebut belum dapat diselesaikan dalam kurun waktu 12 (dua belas) bulan, maka komite nasional investigasi wajib memberi laporan perkembangan (intermediate report) hasil investigasi setiap bulannya.
Setiap orang dilarang merusak atau menghilangkan bukti-bukti, mengubah letak pesawat udara dan mengembil bagian dari pesawat udara yang mengalami kecelakaan atau barang-barang lainnya yang tersisa akibat dari kecelakaan atau kejadian serious dengan ancaman hukuman pidana atau denda. Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi pejabat yang berwenang atau aparat keamaan di lokasi kecelakaan untuk kepentingan operasi keselamatan penerbangan. Pejabat yang berwenang atau aparat keamanan setempat dapat mengubah letak pesawat udara, memindahkan ke tempat lain, merusak pesawat udara yang mengalami kecelakaan untuk kepentingan keselamatan penerbangan, misalnya kecelakaan pesawat udara yang terjadi di ujung landasan, maka pejabat yang berwenang dapat memindahkan pesawat udara tersebut sebelum diadakan investigasi supaya tidak mengganggu operasi keselamatan penerbangan di bandar udara.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 26 Konvensi Chicago 1944, komite nasional mempunyai kewajiban untuk investigasi kecelakaan pesawat udara nasional maupun asing yang terjadi di Indonesia. Dalam komite nasional melakukan investigasi kecelakaan pesawat udara asing yang mengalami kecelakaan di Indonesia, maka wakil resmi dari negara (accredited representative) tempat pesawat udara didaftarkan, negara tempat perusahaan penerbangan (operator), negara tempat pesawat udara dirancang dan negara tempat pembuat pesawat udara dapat diikut sertakan dalam investigasi kecelakaan pesawat udara sepanjang hukum nasional mengizinkan. Kedatangan mereka diperlukan, terutama sekali wakil resmi dari negara tempat pesawat udara didaftarkan karena semua dokumen yang berkenaan dengan pesawat udara yang diperlukan tersimpan, sedangkan negara-negara lain yang penting kehadirannya untuk mencegah terjadinya kecelakaan dengan sebab yang sama. Dalam hal pesawat udara Indonesia mengalami kecelakaan di luar wilayah Republik Indonesia, maka komite nasional wajib menghadiri dalam invenstigasi kecelakaan sebagai peninjau dan dapat membantu dokumen-dokumen yang diperlukan untuk investigasi.
Orang perseorangan wajib memberikan keterangan atau bantuan jasa keahlian untuk kelancaran investigasi kecelakaan yang dibutuhkan oleh komite nasional, tidak hanya itu saja semua institusi baik otoritas bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha bandar udara, penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan, dan/atau perusahaan penerbangan wajib membantu kelancaran investigasi kecelakaan pesawat udara, sepanjang dapat melakukan bantuan, sesuai dengan kemampuan mereka.
Bilamana terjadi kecelakaan pesawat udara di luar daerah lingkungan kerja bandar udara, pejabat yang berwenang atau aparat keamanan dilokasi kecelakaan pesawat udara wajib melakukan pengamanan terhadap pesawat udara yang mengalami kecelakaan untuk melindungi personel pesawat udara dan penumpangnya, mencegah terjadinya tindakan yang dapat mengubah letak pesawat udara, merusak dan/atau mengambil barang-barang dari pesawat udara yang mengalami kecelakaan. Tindakan-tindakan tersebut berlangsung terus sampai dengan berakhirnya pelaksanaan investigasi lokasi kecelakaan oleh komite nasional.
Masalah lain yang perlu dijelaskan di sini adalah penggunaan hasil investigasi kecelakaan pesawat udara sebagai alat bukti dalam proses peradilan, karena bilamana hasil investigasi digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan akan bertentangan dengan maksud dan tujuan investigasi kecelakaan pesawat udara. Berbicara mengenai hasil investigasi kecelakaan pesawat udara, sering terjadi kontraversial di dalam masyarakat. Kontraversial demikian tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi dalam forum internasional di bawah naungan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) maupun dinegara-negara anggota ICAO seperti di Amerika Serikat dan Belanda.
Dalam hubungannya dengan hasil investigasi sebagai alat bukti dalam proses peradilan perdata maupun pidana, Pasal 359 secara tegas mengatakan bahwa hasil investigasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan, kecuali informasi yang tidak tergolong sebagai informasi rahasia dapat diumumkan kepada masyarakat. Informasi yang tergolong rahasia (non-disclosure records) antara lain pernyataan dari orang-orang yang diperoleh dalam proses investigasi, rekaman atau transkrip komunikasi antara orang-orang yang terlibat di dalam pengoperasian pesawat udara, informasi mengenai kesehatan atau informasi pribadi dari orang-orang yang terlibat dalam kecelakaan atau kejadian, rekaman suara di ruang kemudi (cockpit voice recorder) dan catatan-catan kata demi kata (transkrip) dari rekaman suara tersebut, rekaman dan transkrip dari pembicaraan petugas pelayanan lalu lintas penerbangan (air traffic services) dan pendapat yang disampaikan dalam analisis informasi termasuk rekaman informasi penerbangan (flight data recorders), karena itu rekaman yang muncul di internet dalam kasus kecelakaan pesawat udara Adam Air beberapa waktu yang lalu dapat digolongkan rahasia yang tidak dapat dipublikasikan.
Masalah kerahasian hasil investigasi juga dapat ditemui di dalam Annex 13 Konvensi Chicago 1944, hukum nasional Amerika Serikat, Belanda dan Jepang. Menurut Annex 13 Konvensi Chicago 1944, apabila negara yang melakukan investigasi kecelakaan pesawat udara berpendapat setiap penyebar luasan hasil investigasi akan mempunyai dampak negatif terhadap tujuan investigasi kecelakaan pesawat udara serta investigasi yang akan datang, maka negara tersebut tidak perlu menyebar luaskan hasil investigasi tersebut, sedangkan di Amerika Serikat berdasarkan Airlines Deregulation Act of 1977 dan International Air Transport of 1977, komisi penerbangan (Aviation Board) mempunyai wewenang untuk menentukan informasi mana yang boleh diumumkan kepada masyarakat maupun dokumen atau informasi mana yang tidak boleh diumumkan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi Free Flow Information Act of 1966 dalam transparensi masyarakat.
Lahirnya Free Flow Information Act of 1966 tersebut jelas akan berpengaruh terhadap informasi dunia penerbangan yang ditangani oleh Department of Transport (DOT) yang pelaksanaannya dilakukan oleh Federal Aviation Adminstration (FAA) dan National Transportation Safety Board (NTSB). Federal Aviation Administration (FAA) secara yuridis mempunyai wewenang megeluarkan peraturan perundang-undangan yang menjamin keselamatan penerbangan tidak lepas dari berlakunya Free Flow Information Act of 1966 terutama dalam hal pemberi tahuan sertifikat kecakapan awak pesawat udara maupun sertifikat kelaikan udara. Demikian pula CAB sebelum dibubarkan juga tidak lepas dengan berlakunya Free Flow Information Act of 1966 terutama pemberian izin transportasi udara perusahaan penerbangan.
Di samping kewajiban menyebar luaskan informasi tersebut seluas-luasnya kepada masyarakat umum dalam hal-hal tertentu, Free Flow Information Act of 1966 juga mengharuskan untuk mempertimbangkan kepentingan umum lainnya. Berdasarkan ketentuan tersebut, pemerintah atau badan-badan publik lainnya berhak menolak setiap permohonan informasi oleh masyarakat umum. Permohonan informasi tersebut dapat ditolak apabila pemerintah atau badan-badan publik lainnya tersebut menyangkut informasi berkenaan dengan keamanan nasional, internal pemerintah atau badan-badan publik lainnya, masalah yang dilindungi oleh undang-undang dari keterbukaan kepada umum, rahasia perdagangan, rahasia yang diberikan oleh pemerintah atau badan-badan publik lainnya, khusus masalah internal pemerintah, menyangkut pribadi yang tidak dikehendaki oleh orang yang bersangkutan, mengenai catatan-catatan penegak hukum, mengenai catatan-catatan pemeriksaan bank dan lembaga-lembaga keuangan lainnya.
Dokumen-dokumen lain yang termasuk tidak dapat diberikan adalah dokumen-dokumen internal investigasi, laporan Federal Aviation Administration yang menyangkut pernyataan saksi mata, informasi-informasi lain selama investigasi, bahan-bahan yang akan digunakan untuk proses peradilan dll. NTSB dalam proses investigasi kecelakaan pesawat udara mengembangkan formulasi dokumen-dokumen yang diperoleh untuk menentukan penyebab kecelakaan pesawat udara. Mengingat dokumen-dokumen tersebut sangat erat kaitannya dengan gugatan yang diajukan oleh pengacara, asuransi, pemilik pesawat udara yang mengalami kecelakaan maupun berbagai instansi pemerintah atau badan-badan publik lainnya bukanlah hal yang mustahil banyak permintaan dokumen tersebut.
Di Belanda juga terdapat Freedom of Information Act of 1978 yang mengharuskan untuk menyebar luaskan informasi dalam rangka transparensi kepada masyarakat, tetapi Komisi (Avation Board) yang dibentuk oleh Menteri Transport diberi wewenang untuk filter dokumen mana yang boleh diumumkan kepada masyarakat. Tidak semua dokumen hasil investigasi kecelakaan pesawat udara dapat diumumkan kepada masyarakat, apalagi sebagai alat bukti dalam proses peradilan. Di dalam hasil investigasi kecelakaan tersebut terdapat berbagai data teknis, operasi, pernyataan kesaksian dan data lain yang sangat penting, yang tidak boleh diumumkan kepada khalayak ramai. Dokumen yang tidak boleh diumumkan oleh Aviaton Board kepada masyarakat adalah dokumen yang berkenaan dengan kerahasiaan perusahaan, catatan-catatan kesehatan, informasi-informasi yang disampaikan pada saat investigasi dll. Kewenangan Aviation Board untuk menahan atau mengumumkan dokumen hasil investigasi kecelakaan pesawat udara tersebut berdasarkan ketentuan undang-undang.
Berdasarkan kewanangan tersebut Aviation Board dapat mencegah penyebar luasan hasil investigasi kecelakaan pesawat udara yang besifat rahasia tanpa bertentangan dengan ketentuan Freedom of Information Act of 1978 yang mengharuskan untuk mengumumkan kepada khalayak ramai. Orang yang terlibat dalam kecelakaan dan berhak untuk mengadakan konsultasi untuk memperoleh keputusan yang adil dalam proses pengadilan. Mereka mempunyai kesempatan untuk menjelaskan kepada Aviation Board yang berhak untuk menentukan apakah dokumen tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti dipengadilan atau tidak.
Berdasarkan hukum nasional Jepang tidak ada jaminan hukum bahwa hasil investigasi kecelakaan pesawat udara tidak digunakan untuk bukti dalam proses pengadilan baik hukum publik maupun perdata.Mengingat masing-masing instansi mempunyai wewenang yang berbeda-beda, maka dalam pelaksanaan investigasi diadakan kordinasi antara Aircraft Accident Investigation Board dengan polisi Metropolitan. Dalam kordinasi tersebut disepakati bahwa inspeksi kelokasi kecelakaan pesawat udara diadakan konsultasi satu terhadap yang lain, outopsyAircraft Accident Investigation Board, semua alat bukti yang secara pisik diperlukan oleh polisi dan Aircraft Accident Investigation Board dikuasai oleh polisi sebaliknya polisi memberi wewenang penuh pada analisis Flight Data Ecorder (FDR) dan Cockpit Voice Recorder (CVR). menjadi tanggung jawab polisi tetapi dalam hal-hal tertentu diadakan kordinasi dengan
Komite nasional independen yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden tersebut, di samping melakukan investigasi kecelakaan pesawat udara juga melakukan penyelidikan lanjutan mengenai penyebab setiap kecelakaan pesawat udara. Penyelidikan lanjutan dimaksudkan suatu proses untuk memberi perlindungan dan kepastian hukum bagi personel penerbangan atas tindakan, keputusan atau pengabaian yang dilakukan berdasarkah hasil pelatihan dan pengalamannya (actions, omissions or decisions taken by them that are commencsurate with their experience and training) serta penentuan dari sisi profesi perilaku mana yang dapat diterima atau yang tidak dapat ditoleransi (the role of domain expertise be in judging whether is acceptable or unacceptable). Dalam pelaksanaan penyelidikan, komite nasional membentuk majelis profesi penerbangan untuk penegakan etika profesi, mediasi dan penafsiran penerapan regulasi penerbangan.
Majelis profesi penerbangan yang dibentuk oleh komite nasional tersebut mempunyai tugas (a) menegakkan etika profesi dan kompetensi di bidang penerbangan, (b) melaksanakan mediasi antara penyedia jasa penerbangan, personel dan pengguna jasa penerbangan, dan (c) menafsirkan penerapan regulasi di bidang penerbangan. Penegakan etika profesi dan kompetensi di bidang penerbangan tersebut mempunyai arti sangat penting untuk menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum, sehingga mereka dapat dilindungi bilaman telah menjalankan tugas sebagaimana layakanya seorang profesional, demikian pula tugas mediasi antara penyedia jasa transportasi dengan penggunanya perlu dilakukan untuk menjamin keseimbangan keduanya, sedangkan tugas penafsiran penerapan regulasi penerbangan demikian mempunyai peran yang sangat penting, mengingat regulasi-regulasi penerbangan yang selalu mengacu kepada rekomendasi Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) tersebut mempunyai pengertian-pengertian yang kadang-kadang sangat berbeda dengan regulasi selain penerbangan.
Majelis profesi penerbangan sebagaimana dibentuk oleh komite nasional tersebut paling sedikit berasal dari unsur profesi, pemerintah dan masyarakat yang kompeten dibidang hukum, pesawat udara, navigasi penerbangan, bandar udara, kedokteran penerbangan dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Berdasarkan ketentuan tersebut masih terbuka profesi-profesi penerbangan lainnya bilamana diperlukan misalnya meteorologi penerbangan, pencarian dan pertolongan (search and rescue). Majelis penerbangan yang mempunyai tugas tersebut diberi wewenang memberikan rekomendasi kepada Menteri Perhubungan untuk pengenaan sanksi administratif atau penyidikan lanjut oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), menetapkan keputusan dalam sengketa para pihak dampak dari kecelakaan atau kejadian serious terhadap pesawat udara dan memberikan rekomendasi terhadap penerapan regulasi penerbangan. Lebih lanjut mengenai penyidikan lanjutan diatur dengan peraturan Menteri.
5.Otoritas Bandar Udara
Undang-undang Penerbangan tersebut juga mengatur otoritas bandar udara. Menurut Pasal 227 Menteri Perhubungan dapat membentuk satu atau beberapa otoritas bandar udara yang terdekat yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri. Dalam pelaksanaan tugasnya, otoritas bandar udara berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Otoritas bandar udara disamping mempunyai tugas membantu kelancaran investigasi kecelakaan pesawat udara sebagaimana disebutkan di atas, juga mempunyai tugas dan tanggung jawab (a) menjamin keselamatan, keamanan, kelancaran dan kenyamanan di bandar udara, (b) memastikan terlaksana dan terpenuhinya ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan, kelancaran dan kenyamanan di bandar udara, (c) menjamin terpeliharanya pelestarian lingkungan bandar udara, (d) menyelesaikan masalah-masalah yang dapat mengganggu kelancaran kegiatan operasional bandar udar yang dianggap tidak dapat diselesaikan oleh instansi lainnya, (e) melaporkan kepada pimpinan tertingginya dalam hal pejabat instansi di bandar udara, melalaikan tugas dan tanggung jawabnya serta mengabaikan dan/atau tidak menjalankan kebijakan dan peraturan yang ada di bandar udara, (f) melaporkan pelaksaan tugas dan tanggung jawabnya kepada Menteri Perhubungan.
Otoritas bandar udara sebagaimana dibentuk oleh Menteri Perhubungan tersebut mempunyai wewenang (a) mengkoordinasikan kegiatan pemerintahan di bandar udara yang bersangkutan, (b) mengatur, mengendalikan dan mengawasi palaksanaan ketentuan keselamatan penerbangan, keamanan penerbangan, kelancaran serta kenyamanan penerbangan di bandar udara tersebut, (c) mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pelaksanaan pelestarian lingkungan, (d) mengatur, mengendalikan, dan mengawasi penggunaan lahan daratan dan/atau perairan bandar udara sesuai dengan rencana induk bandar udara, (e) mengatur, mengendalikan, dan mengawasi penggunaan kawasan keselamatan operasi penerbangan dan daerah lingkungan kerja bandar udar serta daerah lingkungan kepentingan bandar udara, (f) mengatur, mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan standar kinerja operasional pelayanan jasa di bandar udara, dan (g) memberikan sanksi administratif kepada badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, dan/atau badan usaha liannya yang tidak memenuhi ketentuan keselamatan, keamanan, kelancaran serta kenyamanan penerbangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dijelaskan bahwa aparat otoritas bandar udara merupakan pegawai negeri sipil yang memiliki kompetensi di bidang penerbangan sesuai dengan standar dan kretaria yang ditetapkan Menteri Perhubungan yang lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Menteri
6.Single Air Traffic Provider
Pelayanan navigasi penerbangan pada saat ini dilakukan oleh PT (Pesero) Angkasa Pura I dan II, Unit Pelaksana Teknis (UPT) dibawah Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, TNI-AU dan Batam. Pelayanan navigasi penerbangan di dalam satu negara berdaulat mustinya dilakukan dalam satu pelayanan, sehingga terdapat keseragaman pelayanan, fasilitas, maupun peralatannya. Menyadari hal tersebut Undang-undang Penerbangan yang baru disahkan, membuka kemungkinan penyelenggaraan dalam satu tangan yang dikenal dengan istilah single air traffic services provider.
Pasal 271 menyatakan bahwa pelayanan navigasi penerbangan menjadi tanggung jawab pemerintah terhadap pesawat udara yang melakukan penerbangan di wilayah kedaulatan Republik Indonesia, untuk maksud tersebut pemerintah membentuk satu lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan. Pelayanan navigasi penerbangan tersebut harus mengutamakan keselamatan penerbangan, tidak berorientasi kepada keuntungan, secara finansial dapat mandiri dan biaya yang diterima dari pemberian pelayanan dikembalikan lagi untuk biaya investasi dan peningkatan operasional penerbangan. Lembaga penyelenggara penerbangan yang dibentuk bertanggung jawab kepada Menteri Perhubungan.
Lembaga penyelenggara navigasi penerbangan wajib memberikan pelayanan navigasi penerbangan kepada pesawat udara, sejak kontak komunikasi pertama sampai dengan kontak komunikasi terakhir antara kapten penerbang dengan petugas atau fasilitas navigasi penerbangan. Guna memenuhi kewajiban pelayanan navigasi penerbangan tersebut, penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan harus memiliki standar prosedur operasi (standard operating procedures), mengoperasikan dan memelihara keandalan fasilitas navigasi penerbangan sesuai dengan standar, mempekerjakan personel navigasi penerbangan yang memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi, dan memiliki mekanisme pengawasan dan pengendalian jaminan kualitas pelayanan.
Dalam hal-hal tertentu penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan berhak mengalihkan jalur penerbangan suatu pesawat udara, helikopter atau pesawat udara sipil jenis tertentu yang tidak memenuhi persyaratan navigasi penerbangan yang pelaksanaan lebih lanjut tentang pengalihan tersebut akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Perhubungan. Setiap unit penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan wajib memiliki sertifikat pelayanan navigasi penerbangan yang diberikan oleh Menteri Perhubungan. Unit-unit pelayanan navigasi penerbangan tersebut terdiri dari unit pelayanan navigasi penerbangan di bandar udara, unit pelayanan navigasi penerbangan pendekatan (approach) dan unit pelayanan navigasi penerbangan jelajah.
Pemberian pelayanan lalu lintas penerbangan bertujuan untuk mencegah terjadinya tabrakan antar pesawat udara di udara, mencegah terjadinya tabrakan antar pesawat udara atau pesawat udara dengan halangan (obstacles) di daerah manufer, memperlancar dan menjaga keteraturan arus lalu lintas penerbangan, memberikan petunjuk dan informasi yang berguna untuk keselamatan penerbangan dan effisiensi penerbangan, dan memberikan notifikasi kepada organisasi terkait untuk bantuan pencarian dan pertolongan (search and rescue).(air traffic control services), pelayanan informasi penerbangan (flight information services), pelayana saran lalu lintas penerbangan (air traffic advisory service) dan pelayanan kesiagaan (alerting service). Penetapan jenis-jenis pelayanan tersebut dengan mempertimbangkan jenis lalu lintas penerbangan, kapadatan arus lalu lintas penerbangan, kondisi sistem teknologi dan topografi serta fasilitas dan kelengkapan navigasi penerbangan di dalam pesawat udara. Dalam penyelenggaraan navigasi penerbangan terdapat berbagai pelayanan yang diberikan misalnya pelayanan pemanduan lalu lintas penerbangan
Seperti halnya dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992, dalam undang-undang yang baru juga mengatur kewajiban memberi pelayanan navigasi penerbangan terhadap semua pesawat udara yang melakukan penerbangan di wilayah Republik Indonesia. Setiap pesawat udara yang memperoleh pelayanan navigasi penerbangan dikenakan biaya pelayanan yang ditetapkan dengan mempertimbangkan tingkat pelayanan navigasi penerbangan yang diberikan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, prosedur pelayanan navigasi penerbangan serta biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri Perhubungan.
Dengan terbentuknya lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan tersebut, merupakan satu langkah maju guna meningkatkan pelayanan penerbangan, memelihara fasilitas navigasi penerbangan tanpa harus membebani anggaran pendapatan dan belanja negara, terdapat keseragaman pelayanan navigasi penerbangan, meningkatkan kesejahteraan para karyawan yang pada gilirannya dapat meningkatkan keselamatan penerbangan.
1 Dosen STMT-Trisakti, Universitas Tarumanagara
Langganan:
Postingan (Atom)